Jakarta (ANTARA News) - Rencana ASEAN untuk memberlakukan mata uang tunggal sebagaimana negara-negara Uni Eropa perlu dikaji ulang karena ada disparitas ekonomi yang jauh berbeda di antara negara-negara ASEAN. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh akademisi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Tony Prasentiantono pada acara diskusi meja bundar tentang ASEAN Charter di Jakarta, Selasa. "Secara ekonomi kondisi setiap negara-negara ASEAN berbeda. Indonesia mungkin hanya mirip dengan Philipina saja, jauh berbeda dari Singapura atau Malaysia. Vietnam adalah raksasa yang akan tumbuh sedangkan Myanmar jauh di belakang. Disparitas antara negara sangat jauh," kata Tony. Menurut dia, pembicaraan mata uang tunggal sebaiknya sebatas wacana saja karena belum memungkinkan untuk dilakukan dalam waktu dekat. "Sebaiknya `single currency` untuk wacana atau jaga-jaga saja," katanya. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa penguatan mata uang tunggal Eropa, euro terhadap dolar AS juga tidak sepenuhnya memberikan dampak positif pada ekspor mereka. "Tetapi `single currency` memang cukup menguntungkan dan memudahkan bagi para wisatawan yang ingin berbelanja dan wisata antar negara," katanya. Oleh karena itu, kata dia, perlu dikaji ulang apakah jumlah turis dari negara-negara ASEAN itu cukup signifikan. "Tampaknya jumlah turis antarnegara ASEAN itu tidak cukup banyak (dibandingkan dari negara di luar ASEAN -- red)," katanya. Oleh karena itu kebijakan mata uang tunggal, kata dia, sebaiknya sebatas wacana dalam waktu dekat ini. Pada kesempatan itu, Tony juga mengatakan bahwa kebijakan pembayaran fiskal bagi warga Indonesia yang akan berpergian ke luar negeri masih cukup relevan diberlakukan. "Sebaiknya kita memang masih perlu melakukannya karena cadangan devisa kita tidak aman sehingga perlu sedikit retriksi agar orang tidak mudah ke luar negeri dan melakukan pemborosan devisa," ujarnya. Menurut dia, jumlah cadangan devisa Indonesia hanya senilai 39 miliar dolar AS, sekitar tujuh hingga delapan miliar dolar AS adalah uang IMF sehingga cadangan devisa Indonesia sangat tidak aman. Lebih lanjut, Tony juga berharap agar pada masa mendatang isu korupsi tidak hanya menjadi permasalahan sosial tetapi juga ekonomi karena korupsi tentu saja sangat merugikan perekonomian.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006