Kami dengan tegas menentang campur tangan kekuatan apa pun dalam urusan dalam negeri negara Anda
Jakarta (ANTARA) - Perang Vietnam pada 1955-1975, perang Afganistan 1979-1989, dan perang-perang kontemporer lainnya seharusnya mengajarkan kepada umat manusia bahwa pendudukan paksa wilayah asing sudah tidak relevan lagi dengan zaman.

Dari semua perang itu justru negara-negara kecil seperti Vietnam dan Afganistan bisa mematahkan adidaya seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet yang kekuatannya jauh lebih unggul dalam segala skala.

Kekuatan agresor memang sering melupakan satu hal yang membuat si kecil mengalahkan si besar. Dan itu adalah moral bertempur yang juga sedang terjadi di Ukraina saat ini.

Dalam perang Ukraina yang sudah hampir 7 bulan itu, tengah terjadi titik balik seperti dalam Perang Vietnam dan Afganistan di mana kekuatan lebih inferior membalikkan logika perang.

Adalah sukses kontra-ofensif Ukraina mulai akhir Agustus 2022 di bagian timur lautnya yang tengah diduduki Rusia yang menguakkan lagi fenomena unik mengenai kekuatan kecil yang bisa membalikkan pendulum perang.

Sebelum ofensif ke timur laut wilayahnya yang diduduki Rusia itu, Ukraina santer disebut bakal melancarkan serangan balasan ke Kherson yang berada di bagian selatan negeri itu.

Rusia terpancing. Mereka mengerahkan sebagian besar sumber daya perangnya ke Kherson guna menangkal ofensif balik Ukraina.

Ternyata itu hanya pengalihan perhatian karena target sejati Ukraina adalah wilayah timur laut di Donbas.

Rusia terpancing dengan merealokasikan sebagian besar kekuatan militernya ke Kherson dan membiarkan bagian utara Donbas di Kharkiv dan sekitarnya, menjadi tak terlindungi.

Situasi ini membuat Ukraina dengan mudah mendapatkan kembali sebagian wilayahnya di bagian timur itu yang sejak April tahun ini diduduki Rusia.

Lebih dari 3.700 kilometer persegi wilayah Ukraina timur laut atau hampir seluas wilayah Kabupaten Malang di Indonesia, kembali ke pangkuan Ukraina.

Sukses besar Ukraina ini seketika memunculkan keraguan atas kemampuan Rusia dalam mempertahankan wilayah Ukraina yang didudukinya yang bisa membuka gerbang kekalahan secara lebih luas lagi.

Ini kenyataan pahit yang dihadapi Presiden Rusia Vladimir Putin yang pada 24 Februari memerintahkan apa yang disebutnya "operasi khusus untuk demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina".

Lima pekan setelah pengumuman Putin itu, Rusia mundur dari ibu kota Kiev dan area sekitarnya, dengan alasan sudah berhasil melemahkan kemampuan bertempur militer Ukraina.

Mereka lalu mengonsentrasikan kekuatan militernya di Donbas di Ukraina timur yang memang menjadi incaran utama Rusia, selain daerah selatan Ukraina.

Ternyata kekuatan militer Ukraina tak berkurang sama sekali. Justru mereka kini membalikkan pendulum perang, termasuk di Donbas.

Sebaliknya Rusia menghadapi hambatan dalam mereorganisasi pasukan sampai kemudian lebih sering mengambil posisi bertahan.


Moral rendah

Ukraina pun menjadi lebih leluasa dalam melancarkan ofensif balasan guna merebut kembali wilayah-wilayahnya, sebelum musim dingin tiba yang diperkirakan bakal bakal menyulitkan kedua belah pihak yang bertikai itu.

Sukses teritorial Ukraina itu kian memukul moral pasukan Rusia dan bahkan bisa memojokkan posisi Presiden Vladimir Putin.

Putin sendiri tengah ditekan di dalam negeri agar memaklumatkan mobilisasi massal yang justru ingin dia hindari karena bisa menjadi bunuh diri politik.

Kekalahan besar di front Kharkiv sendiri mencerminkan militer Rusia menghadapi masalah struktural, terutama menyangkut sumber daya pasukan dan rendahnya moral bertempur yang memang sudah dikenali sejak awal invasi Rusia di Ukraina.

Sejumlah kalangan ini menyebutkan ada perbedaan mental yang menyolok antara pasukan Ukraina dan militer Rusia.

Ketika Ukraina melancarkan serangan kilat guna merampas kembali kota-kota strategis di Ukraina timur termasuk Izium, pasukan Rusia terbirit-birit mundur sampai meninggalkan tank-tank dan amunisi mereka.

Pasukan Rusia disebut-sebut tidak saja kehilangan hasrat bertempur, namun juga menghadapi masalah lebih akut berupa moral bertempur yang rendah.

Sebaliknya,setelah memukul mundur Rusia di Kiev pada awal perang dan kemudian wilayah Kharkiv pertengahan bulan ini, Ukraina kian yakin bakal memenangi perang.

Bukan saja karena bantuan intelijen dan militer yang masif dari Barat, melainkan juga karena memiliki moral bertempur lebih kuat ketimbang pasukan Rusia.

Mereka memiliki alasan berperang yang jelas yang tak dipunyai pasukan Rusia, yakni berperang demi kemerdekaan dan kedaulatan nasionalnya.

Alasan itu membuat Ukraina begitu mudah merotasi pasukan tempur mereka. Sebaliknya Rusia kesulitan mengeksploitasi personel perangnya sampai terpaksa mengandalkan tentara bayaran semacam Kelompok Wagner.

Ketika serdadu-serdadu Ukraina berulang kali ingin kembali maju ke medan perang begitu pulih dari luka mereka, sebagian besar tentara Rusia malah kehilangan hasrat berperang.

Itu termasuk kelompok separatis Ukraina timur yang tak mau bertempur di luar wilayah Donetsk dan Luhansk yang berada dalam kawasan yang biasa disebut Donbas itu.

Mereka sudah kelelahan karena bertempur selama enam bulan penuh tanpa rotasi.

Sejumlah analis militer meyakini moral pasukan Rusia berada pada titik rendah dan tak mempercayai rantai komando sendiri yang bahkan sudah terjadi sejak awal invasi akhir Februari silam.

Banyak tentara Rusia yang tak tahu alasan pasti mengapa harus memerangi Ukraina dan keadaan ini membuat banyak serdadu Rusia menolak bertempur.


Makin menentukan

Pada awal invasi Rusia, sekutu-sekutu Ukraina malah yakin Ukraina bakal jatuh ke tangan Rusia dalam hitungan hari.

Kenyataannya Ukraina bertahan, sebagian besar karena moral tinggi dan alasan berperang yang jelas itu, yang adalah bekal yang juga dimiliki Vietnam dan Afganistan saat mengusir Amerika Serikat dan Uni Soviet beberapa dekade lalu.

Ukraina pun berhasil memukul mundur Rusia di banyak front. Akan tetapi Putin menegaskan bahwa kontra-ofensif Ukraina tak akan mengubah rencana Rusia di Ukraina.

"Operasi kami di Donbas tak akan berhenti," kata Putin setelah KTT Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO) di Samarkand, Uzbekistan, belum lama ini.

Ironisnya dalam acara di Samarkand itu, Putin mendapatkan sambutan dingin dari sekutu-sekutunya di Asia Tengah, termasuk Uzbekistan.

Gambarannya terlihat dari cara mereka memperlakukan Vladimir Putin.

Begitu Presiden China Xi Jinping tiba di Samarkand, Presiden Uzbekistan Shavkat Mirziyoyev langsung menyambutnya di bandara, tetapi giliran Putin "hanya" Perdana Menteri Uzbekistan Abdulla Oripov yang menyambut dia.

Sikap sebagian besar anggota SCO juga terlihat menolak penggunaan perang dalam menyelesaikan konflik.

Beberapa jam sebelum tiba di Samarkand, Xi Jinping singgah di Kazakhstan untuk bertemu Presiden Kazakhstan Kassym-Jomart Tokayev.

Kepada Tokayev, Xi berkata, "Apa pun perubahan lingkungan internasional yang terjadi, kami dengan tegas mendukung Kazakhstan mempertahankan kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas wilayahnya."

"Kami dengan tegas menentang campur tangan kekuatan apa pun dalam urusan dalam negeri negara Anda," kata Xi.

Ini pesan tegas China yang eksplisit menegaskan sikap antiperang mereka, selain menjadi pembesar hati untuk Kazakhstan yang acap di-bully oleh para pemimpin Rusia bahwa Kazakhstan berdiri karena kebaikan Rusia.

Oleh karena itu, apa yang dicapai Ukraina saat ini jauh melewati spektrum perang Ukraina-Rusia karena efeknya sampai juga ke kawasan-kawasan seperti Asia Tengah, walau cuma dalam bentuk sentimen anti-pendudukan asing.

Episode berikutnya dari perang Ukraina pun menjadi makin menentukan.

Kalah perang bakal memudarkan pengaruh Rusia, namun untuk memenangi perang di Ukraina, Rusia mesti mengerahkan sumber daya teramat besar.

Jika yang terakhir ini yang dilakukan maka itu bisa menggerogoti kekuatan Rusia sendiri. Ini pula faktor yang menjadi mukadimah untuk runtuhnya Uni Soviet 3 dekade silam.

Akan tetapi satu hal yang pasti adalah perang itu mahal, sedangkan insentif yang didapatkan sering sangat minimal.

Copyright © ANTARA 2022