Jakarta (ANTARA) - Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) atau UPDM(B) menggelar diskusi publik yang membahas isu rasisme Anti-Asia di Amerika Serikat (AS) dengan tema “Mengapa Rasisme Masih Ada di Amerika Serikat?”.

Berlokasi di Aula FISIP, diskusi publik berbentuk talkshow tersebut mengupas sebab, akibat, motif, hingga kampanye pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump dan kebijakan Presiden AS Joe Biden dalam mengatasi kasus Anti-Asia.

Ketua Umum SENMA FISIP UPDM(B) Dimas Satria Krisnowo dalam sambutannya, seperti dikutip dari keterangan resmi di Jakarta, Rabu, mengungkapkan pihaknya tergerak untuk mendiskusikan fenomena Anti-Asia yang terjadi dan ada di negara yang mengklaim dirinya sebagai pelopor, penyebar, bahkan menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di negara-negara lain.

"Kami berharap dari diskusi ini bisa diambil manfaat bahwa Indonesia yang majemuk mampu menyatukan perbedaan, bukan menghembuskan permusuhan," ujar Dimas.

Sementara itu, Dekan FISIP UPDM(B) Prof. Dr. Himsar Silaban dalam sambutannya, mengaku bangga dengan Senat Mahasiswa yang mampu mengadakan diskusi publik mengangkat dinamika isu rasisme di AS dengan menghadirkan para pembicara dari berbagai kalangan.

"Diskusi ini tentu akan menambah khazanah, wawasan, dan pengetahuan para civitas akademika yang ada di lingkup FISIP UPDM(B)," ujar Himsar.

Diskusi publik ini mendatangkan Anggota Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar, Dosen Hubungan Internasional FISIP UPDM(B) Kesi Yovana, serta Bendahara Umum Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Addin Jauharudi.

Anggota Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar sebagai moderator  membuka acara dengan pertanyaan besar mengapa AS belum bisa menuntaskan problem rasisme yang melekat, padahal Negeri Paman Sam merupakan pelopor, penyebar, bahkan menegakkan nilai-nilai HAM dan demokrasi di negara-negara lain.

"Menguatnya sentimen rasisme Anti-Asia di AS menunjukkan kemunduran sekaligus menjauh dari American Dream yang memimpikan kesetaraan, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan anti rasisme," ungkap Abdul.

Menurut Dosen Hubungan Internasional FISIP UPDM(B) Kesi Yovana, adanya fenomena dan kasus Anti-Asia di AS tak terlepas dari kampanye mantan Presiden AS Donald Trump yang menyudutkan Tiongkok.

Apalagi saat pandemi COVID-19, ujaran kebencian seperti virus Tiongkok Kung Flu, dan Wuhan Virus semakin membangkitkan kebencian Anti-Asia di AS.

"Belum lagi, meningkatnya eskalasi konflik dan ketegangan hubungan antara AS dan Tiongkok semakin mempengaruhi masyarakat untuk melepaskan kebencian pada sesama manusia," tutur Kesi.

Bendahara Umum PP GP Ansor Addin Jauharudin menambahkan, rasialisme merupakan isu tertua di dunia, sehingga isu Anti-Asia di AS harusnya menjadi bahan refleksi. AS dan Indonesia sama-sama menganut demokrasi, namun memiliki karakter dan corak yang berbeda.

"Demokrasi Indonesia berlandaskan prinsip musyawarah-mufakat dalam politik dan gotong-royong dalam ekonomi. Dengan demikian sudah selayaknya dan sepatutnya AS belajar dari Indonesia untuk menghargai perbedaan, menyatukan kemajemukan, dan menjunjung tinggi kemanusiaan serta peradaban dalam Bhinneka Tunggal Ika," ucap Addin.

Baca juga: Survei: Warga kulit hitam di AS nilai rasisme tantangan berkepanjangan
Baca juga: Kebencian anti-Asia di AS, orang tua pertimbangkan bicarakan rasisme
Baca juga: NU: Demokrasi Amerika sedang sekarat di tengah isu rasisme

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022