Dengan deteksi PCR kita bisa mendapatkan kepastian
Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis mikrobiologi klinik dari FKUI dr. Suratno Lulut Ratnoglik, M.Biomed, PhD, Sp.MK mengatakan pemeriksaan laboratorium pada penderita yang diduga terinfeksi diperlukan untuk memastikan diagnosis cacar monyet (monkeypox).

Menurut dia, gejala klinis ruam atau lesi pada cacar monyet terkadang sulit dibedakan jika dibandingkan dengan infeksi kulit yang lain seperti smallpox, cacar air, campak, dan seterusnya. Oleh sebab itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menegakkan diagnosis.

“Untuk monkeypox ini, hanya dapat didiagnosis secara pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa pastinya. Namun secara klinis, kalau kita melihat klinisnya itu memang agak sulit jika kita melihat dengan penyakit lain seperti cacar smallpox yang sebenarnya smallpox ini juga sudah tidak ada,” kata Suratno dalam webinar “HUT 103 RSCM” yang diikuti di Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan cara mengambil spesimen yang berasal dari lesi atau ruam atau cairan yang ada di kulit penderita terduga cacar monyet. Pengambilan spesimen dilakukan dengan swab dan biasanya melalui pemeriksaan PCR.

“Dengan deteksi PCR kita bisa mendapatkan kepastian apakah cairan dari pasien pengidap tadi itu benar monkeypox atau bukan,” ujarnya.

Baca juga: Bio Farma: Pengadaan vaksin Monkeypox pertimbangkan kasus dalam negeri

Baca juga: Peningkatan PHBS penting untuk cegah penularan cacar monyet


Meski demikian, Suratno mengatakan gejala klinis khas yang membedakan cacar monyet dengan smallpox yaitu adanya pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher, ketiak, atau selangkangan.

Gejala awal ini kemudian baru diikuti dengan kemunculan ruam pada kulit dimulai dari wajah dan menyebar ke seluruh tubuh secara bertahap.

“Nanti akan berkembang menjadi bintik-bintik merah yang berisi cairan bening dan bisa juga berisi nanah kemudian mengeras dan akhirnya rontok. Kemudian dalam tiga minggu, penampakan tadi sudah mulai menghilang,” katanya.

Selain pembengkakan di kelenjar getah bening, gejala awal pada masa inkubasi pada 6-16 hari yaitu demam, sakit kepala hebat, nyeri punggung, nyeri otot, dan lemas.

Dia mengatakan hingga saat ini belum terdapat pengobatan yang spesifik untuk cacar monyet. Pengobatan yang akan dilakukan berdasarkan simptomatis saja.

Terkait pencegahan, Suratno mengatakan vaksin khusus cacar monyet saat ini juga belum tersedia. Namun begitu, vaksin cacar atau vaksin smallpox yang pernah tersedia beberapa dekade lalu masih dapat digunakan mengingat virus penyebab cacar monyet masih satu keluarga dengan smallpox.

“Vaksin itu bisa digunakan lagi yaitu vaksin cacar atau smallpox. Dan itu ternyata dengan pemberian itu bisa memberikan perlindungan terhadap monkeypox,” katanya.

Dia pun mengimbau bagi para pelaku perjalanan dari negara-negara yang pernah terkonfirmasi kasus cacar monyet, seperti Afrika, Inggris, Amerika Serikat, Israel, dan Singapura, untuk memeriksakan diri dan melapor kepada petugas kesehatan apabila mengalami gejala cacar monyet.

“Saat ini belum ada larangan untuk bepergian ke negara-negara tersebut. Cuma nanti kalau pada saat kembali saja dari negara-negara tersebut dan memiliki gejala seperti tadi sebaiknya melaporkan diri supaya petugas kesehatan lebih waspada, mungkin saja kita disarankan untuk melakukan pemeriksaan atau melakukan karantina,” kata Suratno.

Baca juga: Satgas minta nakes tingkatkan kemampuan klinis diagnosis Monkeypox

Baca juga: Satgas: Perketat pemantauan Monkeypox di semua pintu masuk negara


 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022