Jakarta (ANTARA) - Pengembangan Food Estate di negeri ini tidak terelakkan demi terwujudnya ketersediaan pangan yang kokoh, kebijakan untuk meningkatkan produksi yang dihasilkan para petani dalam negeri, sekaligus memperkuat cadangan pangan nasional. Maka Food Estate menjadi solusi atas berbagai masalah ketahanan pangan bangsa dan negara.

Food estate sekaligus menjadi bentuk nyata antisipasi dari ancaman krisis pangan global, yang saat ini mulai terasa dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Pengembangan Food Estate di negeri ini memang terus terekam gaungnya, meski tidak semulus yang dibayangkan.

Ibarat sebuah drama kehidupan, Food Estate sempat mengundang diskusi yang cukup hangat. Ada pandangan yang menyebut, rintisan Food Estate di beberapa daerah mengalami kegagalan, sehingga menyarankan agar program ini dihentikan.

Namun demikian, di sisi yang lain lebih banyak yang mengharapkan agar Food Estate tetap dilanjutkan dengan pelaksanaan yang lebih baik lagi. Pro kontra terhadap sebuah kebijakan yang diterapkan pemerintah wajar terjadi, apalagi bila kebijakan atau program tersebut melibatkan banyak kepentingan.

Kemauan politik pemerintah untuk membangun Food Estate di berbagai daerah, seperti di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, dan lain sebagainya, pada dasarnya merupakan ikhtiar untuk memperkuat ketersediaan pangan menuju ketahanan pangan yang lebih berkualitas.

Selain itu, pengembangan Food Estate dimaksudkan pula untuk menjawab "peringatan" Badan Pangan Dunia (FAO), yang mewanti-wanti akan terjadinya krisis pangan global, setelah pandemi COVID-19 berakhir. Sebagai bentuk kewaspadaan dan kehati-hatian, Food Estate diharapkan mampu menjawab kerisauan tersebut.

Food Estate diharapkan semakin sempurna perencanaannya demi mewujudkan harapan banyak pihak akan ketahanan pangan. Itu juga harus didukung dengan sistem target yang harus dicapai dalam waktu tertentu.

Itu sebabnya, agar pengalaman ini tidak terulang lagi, ke depan semua harus mampu merumuskan perencanaan yang lebih baik dan berkualitas.

Food Estate yang pernah dikembangkan selama ini, sebaiknya dijadikan proses pembelajaran untuk menata pengembangan Food Estate ke arah yang lebih baik.

Beberapa hal yang kurang sempurna perlu dievaluasi dan dijadikan kekuatan untuk meraih keberhasilan. Bangsa ini masih punya waktu untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan yang ada.


Saran akademisi

Langkah pengembangan Food Estate ini, salah satunya mendapat saran dan kritik dari seorang Guru Besar IPB. Prof. Dwi Andreas Sentosa yang menyebut potensi kegagalan proyek Food Estate bisa disebabkan karena tidak memenuhi empat pilar yang mesti dimiliki proyek pangan skala besar.

Pertama, proyek itu dinilai tak memenuhi kesesuaian tanah untuk menjadi lahan tanam. Kedua, infrastruktur pertanian di lahan Food Estate tak sesuai. Irigasi dan jalan sarana prasarana di beberapa lokasi yang dijadikan lahan tanam tidak memenuhi kriteria layak. Petani untuk bisa mentransfer produknya ke luar wilayah produksi, terkesan sulit.

Ketiga, varietas yang ditanam kurang cocok dengan lahan tanam dan teknologi yang dimiliki pun masih minim. Belum lagi soal ketersediaan pupuk.

Padahal, dalam pembangunan pertanian, varietas yang unggul akan menentukan keberhasilan produksi. Begitu pun dengan ketepatan penggunaan pupuk. Dalam hal ini, kehadiran penyuluh pertanian yang berkualitas, betul-betul sangat dibutuhkan.

Keempat, syarat agar Food Estate bisa berhasil adalah produktivitas gabah yang dihasilkan. Persyaratannya, setiap hektare lahan harus mampu menghasilkan minimal empat ton gabah. Sementara, saat ini, gabah yang bisa dihasilkan hanya 1 ton per hektare.

Apa yang diutarakan Guru Besar IPB University di atas sudah sepatutnya dijadikan pijakan untuk melahirkan kebijakan Food Estate yang lebih terukur dan terpola pelaksanaannya.

Maka dibutuhkan disain besar yang utuh, holistik, dan komprehensif. Akan lebih baik lagi, bila dapat menyertakan peta jalan dalam penggarapannya.

Sekarang ini pun tentu pemerintah telah memiliki desain perencanaan yang baik dalam pengembangan Food Estate di berbagai daerah.

Semua pihak percaya para perencana dan kementerian/lembaga terkait, termasuk pemerintah daerah, telah bersinergi dan berkolaborasi untuk menghasilkan rumusan perencanaan yang berkualitas.

Perencanaan yang disusun juga diharapkan mampu mengakomodir prinsip-prinsip perencanaan, seperti yang diamanatkan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Perencanaan Food Estate juga mesti dirumuskan dengan pendekatan teknokratik, pendekatan partisipatif/aspiratif, pendekatan top down-bottom up dan pendekatan politis.

Sebab semua pihak ingin pengembangan Food Estate menjadi solusi masalah pangan menuju ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan yang diimpikan.

Semua pihak ingin keberadaan dan kehadiran Food Estate menjadi "berkah kehidupan" bagi segenap komponen bangsa.


Padi hibrida

Di tengah-tengah semangat pemerintah mengembangkan Food Estate berbagai komoditas bahan pangan tersebut, tidak tertutup kemungkinan bila pemerintah secara khusus mengembangkan Food Estate padi hibrida di daerah-daerah terpilih.

Dalam penyelenggaraannya pemerintah dapat bersinergi dengan dunia usaha swasta yang selama ini telah mengembangkan padi hibrida. Kerja sama ini mutlak ditempuh agar diperoleh hasil yang optimal sebagai bentuk kemitraan yang berkualitas.

Food Estate padi hibrida adalah sebuah langkah untuk mulai mengenalkan beberapa kelebihan padi hibrida dibanding padi inbrida kepada masyarakat, khususnya lagi para petani.

Selain itu, langkah ini dapat juga diskenariokan untuk memperkuat ketersediaan beras dalam rangka memperkokoh ketahanan dan kemandirian perberasan nasional.

Memang, untuk mewujudkannya tidak segampang membolak-balik telapak tangan. Semua butuh berjuang dengan penuh kehormatan dan tanggung jawab untuk membuktikannya.

Namun semua percaya, jika bersungguh-sungguh, maka Indonesia bisa.

*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.



 

Copyright © ANTARA 2022