ketidakmampuan untuk melakukan deteksi dini ancaman akan terus menjadi masalah besar
Jakarta (ANTARA) - Check Point Software Technologies Ltd sebagai penyedia solusi keamanan siber global mengadvokasi perusahaan-perusahaan Indonesia untuk lebih meningkatkan sikap keamanan siber di tengah ratifikasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang baru-baru ini disahkan.

"Meningkatnya tingkat serangan siber di Indonesia dan pelanggaran keamanan besar membuktikan bahwa ancaman keamanan siber semakin canggih dan sulit dideteksi," kata Deon Oswari, Country Manager, Indonesia, Check Point Software Technologies dalam siaran resmi, Selasa (29/11).

"Disetujuinya RUU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia dan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi merupakan langkah ke arah yang tepat dan akan membantu menjaga kepercayaan masyarakat karena banyak informasi pribadi dan sensitif telah dijual oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab," kata dia.

Baca juga: Menkominfo minta PSE siapkan tiga hal perkuat keamanan siber

Dalam UU yang baru tersebut, baik bisnis lokal maupun perusahaan internasional akan bertanggung jawab atas penanganan data pribadi konsumen Indonesia. Dengan pemberlakuan UU PDP tersebut, perusahaan akan dikenakan denda hingga dua persen dari pendapatan tahunannya, bersamaan dengan denda hingga 6 miliar rupiah bagi individu, apabila terjadi kasus kebocoran data.

Dengan menerapkan solusi keamanan siber terkonsolidasi yang mencakup vektor-vektor potensi serangan bagi perusahaan dan institusi -- mulai dari endpoint, jaringan, dan layanan email di Cloud, serta akses remote mengutamakan sistem pencegahan, akan dapat membantu melindungi perusahaan dan institusi di Indonesia dari pelanggaran undang-undang baru tersebut.

Menurut Check Point’s Threat Intelligence Report, Asia mengalami serangan siber paling banyak pada kuartal ketiga tahun 2022 dibandingkan dengan wilayah lain di seluruh dunia, dengan rata-rata 1,778 serangan mingguan per organisasi.

Di antara negara-negara Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat nomor satu dalam hal peringkat risiko untuk bulan Oktober. Indonesia juga menduduki peringkat nomor lima secara global dalam daftar tersebut.

Tahun lalu, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengumumkan bahwa setidaknya ada 1,6 miliar serangan siber di Indonesia. Formalisasi UU PDP ini bertujuan untuk melawan serangan-serangan tersebut dan menurunkan angka risiko serangan siber.

Meskipun ada perubahan dalam undang-undang, Deon menyatakan bahwa tantangan keamanan siber yang dihadapi oleh perusahaan dan individu masih ada di Indonesia.

Tantangan-tantangan itu termasuk kurangnya kesadaran keamanan siber, penegakan hukum untuk perlindungan data pelanggan, dan keterampilan manajemen keamanan siber itu sendiri.

Meningkatnya kecanggihan serangan siber dan perangkat lunak berbahaya yang digunakan, lemahnya kesadaran akan keamanan siber pada organisasi dan individu, kurangnya keterampilan terhadap keamanan siber yang mengerikan, mulai dari pengembang hingga engineer-nya, terbukti telah menjadi alasan utama untuk dikhawatirkan.

Menurut laporan Amazon Web Services dan AlphaBeta, di tahun 2025 nanti, hampir 17,2 juta orang Indonesia akan membutuhkan pelatihan kompetensi digital untuk mengikuti kemajuan teknologi dengan tiga keterampilan digital teratas, yaitu penggunaan perangkat berbasis cloud, keamanan siber, dan dukungan teknis.

"Phishing dan pencurian identitas, ekosistem keamanan yang tidak diungkapkan, dan ketidakmampuan untuk melakukan deteksi dini ancaman akan terus menjadi masalah besar bagi banyak orang di Indonesia dan merupakan masalah yang akan terus berlanjut hingga tahun 2023," kata Deon.

Industri yang sedang berkembang seperti industri keuangan, fintech, manufaktur, pertambangan, minyak dan gas di Indonesia adalah sektor yang rentan dengan peningkatan serangan siber yang sangat besar.

Faktanya, Check Point Research menemukan bahwa industri keuangan global telah mengalami peningkatan 40 persen dalam serangan siber, dengan industri manufaktur mengalami peningkatan sebesar 20 persen.

Meskipun angka-angka ini terus meningkat, tren dalam membentuk kembali sistem IT dan jaringan di Indonesia, akan membantu memerangi serangan ini.

"Membentuk kembali sistem IT dan jaringan akan sangat penting dalam menangkis serangan siber. Tahun ini, lebih banyak perusahaan telah mengkonsolidasikan keamanan mereka di pusat data, cloud, dan lingkungan pengembangan aplikasi. Banyak yang telah beralih ke penggunaan machine learning dan AI untuk mendeteksi, mencegah, dan menanggapi ancaman siber, membantu mengurangi kemungkinan serangan," kata dia.

"Mengadopsi pendekatan yang mengutamakan pencegahan ketika berhadapan dengan serangan siber adalah cara terbaik untuk memeranginya. Dengan teknologi yang tepat, sebagian besar serangan, bahkan serangan yang paling canggih sekalipun, dapat dicegah tanpa mengganggu aliran bisnis yang normal. Dengan melanjutkan pergerakan ke arah tersebut dan dukungan dari pemerintah, akan membantu Indonesia membangun pertahanan yang lebih kuat terhadap serangan siber," tambah dia.

Setelah undang-undang baru ini diberlakukan, Indonesia akan bergabung dengan Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina dalam memiliki undang-undang khusus tentang perlindungan data pribadi.

Baca juga: Jepang pertimbangkan bentuk badan pertahanan perangi serangan siber

Baca juga: Tips bangun ketahanan siber perusahaan

Baca juga: LPS investasikan Rp200 miliar untuk perkuat keamanan siber


Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022