Jakarta (ANTARA) - Managing Editor dari Environmental Reporting Collective (ERC) Febriana Firdaus mengatakan bahwa Politikus kemerdekaan Indonesia Soedjatmoko memiliki pemikiran yang dapat menjawab krisis pers yang dialami media masa kini.

“Saya merasa Soedjatmoko menjawab krisis yang sedang dialami dunia pers di Indonesia saat ini. Apa yang dilakukan beliau sesuatu yang saya harapkan hampir semua jurnalis melakukannya di Indonesia,” kata Febriana Firdaus dalam Peluncuran Prisma Seratus Tahun Soedjatmoko di Jakarta, Jumat.

Wanita yang pernah bekerja sebagai jurnalis di Tempo itu menuturkan, adanya perkembangan teknologi yang semakin modern, tuntutan di news room menjadi bergeser. Publikasi media pada zaman dulu dan sekarang menjadi berubah.

Ketika teknologi berkembang, jurnalisme menjadi kehilangan maknanya. Bahkan dirinya merasa tulisan atau produk jurnalistik saat ini hanya jadi alat “pemodal”.

Febrina mencontohkan saat jadi jurnalis, ia dituntut untuk meliput suatu kejadian namun juga dituntut untuk membuat 10 berita per hari dan membuat pikirannya atas peran jurnalis menjadi buyar.

Namun hal tersebut berbeda pada zaman Soedjatmoko hidup dan menjadi seorang jurnalis. Beliau tidak hanya sekadar menulis straight news atau feature saja, melainkan meluncurkan majalah berbahasa belanda untuk menandingi disinformasi atau propaganda dari pemerintah Belanda yang berusaha menutupi apa yang terjadi di Indonesia.

“Padahal sebuah peristiwa tidak dapat berdiri sendiri, penggusuran di Jakarta misalnya. Beliau menerapkan metode tidak hanya meliput saja, tapi dia tidak melihat dari sisi pemerintah DKI saja soal pembangunan yang berdasarkan ekonomi. Tapi dia melihat isu kemanusiaan atau lingkungannya,” katanya.

Dengan kemampuannya tersebut, Febrina menyatakan jika Soedjatmoko adalah seorang idealis dan intelektual yang menekuni dunia jurnalis sebagai profesinya. Sedangkan saat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, dirinya mencoba untuk membantah apapun tudingan atau isu yang ada di PBB dengan menggelar konferensi pers.

Sejumlah media ternama dan berpengaruh hadir atas permintaan Soedjatmoko kala itu. Hal itu ditujukan untuk menjadi semacam penyeimbang informasi dari pemerintah Belanda dan terbukti efektif.

“Soedjatmoko menggunakan ilmu jurnalistiknya itu, untuk memerangi disinformasi saat itu. Itulah diplomasi yang dirinya lakukan. Dia tahu dan bisa mengandalkan media independen dan kebebasan pers,” kata dia.

Dari usahanya tersebut, Soedjatmoko berhasil membawa sebuah kebebasan bagi pers. Terlihat dari Soedjatmoko yang tidak ingin hanya menulis berita, tetapi menekankan kebebasan pers bisa membantu memerangi sebuah disinformasi.

Keistimewaan lain yang dimiliki Soedjatmoko adalah dia tidak percaya isu pembangunan sebagai hal materialistik yang berdiri sendiri. Namun harus ada etika, humanisme dan sebagainya. Dari pemikiran kritisnya, Soedjatmoko memberikan banyak ilmu bagi pers untuk berpikir secara kritis saat mendalami sebuah isu.

“Beliau seorang pejuang. Apa yang beliau lakukan untuk mengatasi disinformasi karena Belanda di PBB pada masa itu, sangat penting dan harus dilanjutkan karena sekarang media itu terlalu terlena. Karena sekarang jurnalis terlena dengan berita clickbait dan target perusahaan media yang fokus pada profit, bukan nilai yang lain,” kata jurnalis itu.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2023