Menyelesaikan isu-isu ketidaksetaraan gender, isu perempuan dan anak lainnya
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengatakan faktor sosio kultural dapat mempengaruhi terjadinya stunting pada anak secara lebih luas.

“Meskipun secara umum penyebab utama pada ibu dan anak adalah kurangnya asupan makanan bergizi serta penyakit, namun jika ditelisik lebih lanjut, faktor-faktor sosio kultural, ekonomi dan politik yang lebih luas yang mendasarinya,” kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Webinar Cegah Stunting, Cegah Infeksi Pada Anak yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Bintang menuturkan bahwa dalam aspek sosial dan budaya masyarakat, stunting berhubungan dengan isu ketidaksetaraan gender. Dalam hal ini, perempuan dan anak sangat terlibat di dalamnya.

Meskipun stunting diketahui banyak disebabkan karena kurangnya asupan gizi, faktor lingkungan dan infeksi berulang, nyatanya perkawinan anak juga bisa memicu stunting.

Bila digambarkan, perkawinan anak membuat banyak anak perempuan terpaksa putus sekolah. Setelah menikah, anak perempuan mempunyai akses yang rendah dalam melanjutkan pendidikannya, menyebabkan kurangnya pengetahuan baik terkait kesehatan atau pola asuh.

Perkawinan anak turut menyebabkan kemiskinan pada perempuan dan anak. Akibatnya, sulit untuk bisa mengakses layanan kesehatan atau memenuhi gizi anak. Belum lagi jika anak dan perempuan harus dihadapkan dengan isu kekerasan di dalam rumah tangga.

“Beberapa isu tersebut hanyalah segelintir contoh, penting kita sadari bahwa menyelesaikan isu stunting tidak akan bisa dilakukan jika kita bekerja sendiri atau menitikberatkan pada sektor kesehatan saja,” ujarnya.

Baca juga: KPPPA: Tentukan media yang tepat guna narasikan kekerdilan pada publik

Baca juga: KPPPA sebut pencegahan perkawinan anak dukung penurunan "stunting"


Menurut Bintang pengasuhan yang berkualitas bisa dijadikan sebagai kunci utama dalam mencegah stunting. Pengasuhan yang berkualitas dilakukan secara setara antara ayah dan ibu. Orang tua harus mempunyai rasa tanggung jawab, berakal dan berpengetahuan terutama dalam mendidik anak.

“Seluruh sektor pembangunan harus bekerja bersama, termasuk menyelesaikan isu-isu ketidaksetaraan gender, isu perempuan dan anak lainnya yang saling berkaitan satu sama lain,” katanya.

Bintang menjelaskan peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, telah menjadi salah satu dari tujuh agenda pokok pembangunan nasional. Sebab, anak Indonesia telah mengisi sepertiga dari total populasi saat ini dan akan menentukan kesejahteraan bangsa di masa depan.

Stunting sendiri sudah dijadikan isu prioritas pemerintah. Percepatan penurunan angka stunting telah dinyatakan sebagai program prioritas nasional, melalui Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024.

Terlebih angka prevalensi stunting saat ini baru turun dari 24,4 persen pada tahun 2021 menjadi 21,6 persen di tahun 2022.

“Meski demikian, angka ini masih cukup jauh dengan target Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang sebesar 14 persen,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Bintang meminta agar semua pihak, bergerak bersama melawan stunting lewat sosialisasi dan upaya baik untuk mencegahnya dalam kehidupan bermasyarakat yang akan memberikan kekuatan besar dalam pembangunan Indonesia

“Mari mewujudkan Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045. Perempuan berdaya, anak terlindungi, Indonesia maju,” ucapnya.

Baca juga: Menteri PPPA: Cegah perkawinan anak untuk menekan stunting

Baca juga: Menteri Bintang harap Bapak Asuh Anak Stunting turunkan angka stunting


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023