Damaskus (ANTARA) - DAMASKUS, 11 Februari (Xinhua) -- Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk mencabut sanksi-sanksi terhadap Suriah di tengah kecaman internasional bertentangan dengan apa yang diklaim AS sebelumnya, bahwa rangkaian sanksi tersebut tidak menyasar bantuan kemanusiaan untuk negara yang baru-baru ini diguncang gempa tersebut, demikian disampaikan oleh sejumlah pakar Suriah.

Departemen Keuangan AS merilis pembebasan sanksi selama enam bulan untuk bantuan kemanusiaan ke Suriah pada Kamis (9/2), tiga hari setelah gempa bumi dahsyat dan sejumlah gempa susulan mengguncang Turkiye dan negara tetangga Suriah dan menyebabkan lebih dari 24.000 orang tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka di kedua negara tersebut.

"Pengumuman Departemen Keuangan AS itu adalah pengakuan bahwa klaim Washington bahwa sanksi-sanksi itu tidak memengaruhi bantuan kemanusiaan merupakan klaim palsu dan menyesatkan," kata pakar politik Muhammad al-Omari.

Sementara itu, pakar politik Kamal al-Jafa mengatakan bahwa jika klaim Washington sebelumnya sah dan meyakinkan, negara itu tidak akan mengambil keputusan untuk mencabut embargo tersebut.
 
   "AS tahu bahwa sanksi yang dijatuhkan terhadap rakyat Suriah tidak adil dan memperburuk kondisi kehidupan warga Suriah dalam beberapa tahun terakhir," ujarnya


Pemerintah Suriah berulang kali mendesak Washington untuk mencabut sanksi karena seluruh sanksi tersebut tidak adil dan tidak manusiawi, terutama pascagempa bumi dahsyat itu. Pada Selasa (7/2), pemerintah Suriah mengecam AS karena memblokir upaya bantuan kemanusiaan di Suriah.

Sanksi menjadi taktik utama AS terhadap Suriah sejak Suriah dicatat sebagai negara pendukung terorisme pada 1979.

Sejak dimulainya perang saudara Suriah pada 2011, AS dan sekutu-sekutu Barat-nya menjatuhkan sanksi dan pembatasan ekonomi yang menghalangi Suriah dalam mendapatkan sarana untuk mengejar pertumbuhan serta akses ke barang-barang kebutuhan harian. Sanksi AS pun diintensifkan dengan pengesahan Undang-Undang Caesar (Caesar Act) pada 2019. 


 

Pewarta: Xinhua
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2023