Depok (ANTARA) - Hasil riset Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) menyatakan bahwa rokok dapat menyebabkan stunting (kondisi gagal tumbuh karena kurang gizi), sehingga kenaikan cukai adalah salah satu solusi untuk mencegah stunting.

Dekan FEB UI Teguh Dartanto, PhD di kampus UI Depok, Selasa mengatakan hasil penelitiannya tidak hanya diakomodasi oleh masyarakat yang viral di Twitter, tetapi juga diadopsi sebagai sebuah kebijakan berupa kenaikan cukai rokok.

“Sebagai peneliti ada sebuah kebanggaan penelitiannya dijadikan sebuah kebijakan dan ibaratnya diakomodasi oleh masyarakat. Kami di FEB UI memang ekonom pertama yang eksplor isu seperti ini (hubungan rokok dengan stunting). Selama ini rokok itu selalu (dihubungkan) dengan isu kesehatan saja,” ujar Teguh.

Lebih lanjut Teguh menjelaskan, hubungan rokok dengan stunting bermula dari bagaimana perokok membelanjakan uang di keluarganya.

Kepala keluarga yang merokok, memprioritaskan uangnya untuk belanja rokok dibandingkan untuk kesejahteraan keluarga. Bahkan ketika mendapatkan bantuan sosial untuk pemerintah, ternyata digunakan juga untuk merokok.

“Penelitian ini kami lakukan dengan mengikuti 7.000 lebih data orang tua dan anak selama puluhan tahun yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey 2018, ditambah dengan penelitian langsung yang kami lakukan di Demak Jawa Tengah. Dari situlah kami mendapati bahwa orang tua yang merokok, cenderung anaknya stunting,” ujar Teguh yang juga Ketua peneliti FEB UI.

Lebih memprihatinkannya lagi, Teguh mengatakan, tidak hanya uang pribadi dan uang pemerintah yang dibakar oleh para perokok, tetapi juga berpotensi membakar masa depan anak bahkan sejak ia belum lahir.

Selain masalah gizi akibat perokok memprioritaskan membeli rokok dibanding makanan untuk keluarga, perokok juga mengekspos ibu hamil sebagai perokok pasif.

“Bahkan ketika anak tumbuh dewasa, daripada untuk anaknya sekolah, uang malah digunakan untuk beli rokok. Saat turun langsung meneliti di Demak, saya terenyuh sekali melihat kondisi anak-anak yang mengalami stunting hanya karena keputusan orang tua yang tidak rasional memikirkan diri sendiri dibandingkan anaknya. Kenapa bisa ada orang yang tidak rasional seperti itu? Karena rokok mengandung zat adiktif,” kata Teguh atas penelitiannya bersama tim FEB UI yang juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional terkemuka.

Teguh berharap, masyarakat luas dapat memahami filosofi kenapa cukai rokok perlu dinaikkan. Hal ini karena ketika harga rokok semakin mahal, maka semakin seseorang tidak mau beli rokok. Selain itu, ia juga berpesan kepada masyarakat untuk memprioritaskan gizi dan pendidikan anak.

Khususnya, untuk penerima bantuan dari Pemerintah (Program Keluarga Harapan/PKH), seluruh penerima telah menandatangani klausul bahwa bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk merokok. Ia berharap jangan sampai sumber daya yang diberikan pemerintah untuk masyarakat kurang mampu ini digunakan untuk membeli rokok.

“Daripada duit dibakar dan mahal juga, lebih baik berhenti merokok saja, itulah tujuan utamanya dari kenaikan cukai. Penelitian kita juga menunjukkan, masih ada perokok yang rasional, artinya ketika rokok mahal, ada yang berhenti dan ada yang mengurangi rokoknya sehingga tujuan akhirnya akan tercapai, yakni cukai akan mengurangi stunting,” ujar Teguh.

Baca juga: Sekjen Gerindra tekankan peran PKH dan penyuluh desa cegah "stunting"
Baca juga: Menteri PPPA: Pengasuhan anak yang berkualitas kunci cegah stunting
Baca juga: Kedaulatan pangan mudahkan RI produksi makanan cegah stunting


Pewarta: Feru Lantara
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2023