Saya tidak ingin menjadi pemulung, tetapi ibu memaksa kami untuk bekerja di TPA agar mendapatkan uang
Makassar (ANTARA) - Save the Children merilis hasil riset Circular Geniuses yang membahas limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan, menyebutkan total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun.

Organisasi sosial yang peduli pada perbaikan dan peningkatan kualitas hidup anak-anak itu memastikan bahwa potensi limbah yang sangat besar tersebut membahayakan para pemulung, khususnya anak-anak. Sebab, banyak anak yang turut bekerja sebagai pemulung di Ibu Kota Sulawesi Selatan itu.

Organisasi itu menyebutkan bahwa berdasarkan hasil riset, di Kota Makassar tidak hanya ditemui pemulung dewasa, tetapi setidaknya terdapat sekitar 200 pemulung berusia antara 6--17 tahun berada pada level paling bawah di sistem limbah elektronik yakni mengumpulkan limbah tersebut.

Troy Pantouw dari organisasi sosial tersebut mengemukakan faktor utama penyebab anak-anak terlibat dalam pengumpulan sampah di Makassar ialah karena alasan ekonomi.

"Riset kami jelas memaparkan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama orang tua memaksa anak-anak mereka bekerja sebagai pemulung. Hal ini menjadi lebih parah ketika anak-anak bekerja di sektor informal limbah elektronik karena hal itu tentu mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak," ungkapnya.

Sampah elektronik merupakan jenis limbah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia, bahkan berpotensi menjadi sampah terbanyak kedua setelah limbah plastik dan tekstil.

Tidak jarang anak-anak pemulung juga terlibat dalam proses pemilahan yang tidak aman, misalnya, membakar plastik secara terbuka hingga membongkar komponen papan sirkuit dengan cara yang tidak aman.

Kondisi tersebut diperparah dengan tidak dilengkapinya mereka dengan peralatan keselamatan yang tepat sehingga dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan.

Tiga kecamatan di Makassar yang memiliki limbah elektronik terbesar adalah Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso. Persentase jenis limbah pun beragam, terbanyak meliputi televisi sebesar 100 persen, ponsel 99,7 persen, kipas 93,2 persen, penanak nasi 88,7 persen, seterika 93,2 persen, kulkas 89,2 persen, laptop 76,4 persen, dan AC 49,5 persen.

Hasil riset menunjukkan masyarakat di Makassar mengelola limbah elektronik dengan cara 40 persen disimpan, 33 persen dijual, 20 persen diperbaiki, 4 persen dibuang, dan hanya 3 persen yang didaur ulang.

Di Indonesia, limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun, namun hanya 10 persen yang dikelola dengan benar dan memiliki izin secara resmi, dan 90 persen dikelola oleh sektor informal, baik individu maupun kelompok  yang tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.

Sementara, limbah elektronik di Indonesia termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya sesuai dengan ketentuan peraturan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Limbah elektronik yang tidak dikelola dengan baik akan menjadi polusi dan menghasilkan emisi, hingga berisiko mengganggu kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, baik anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai pemulung, maupun yang hidup di bantaran TPA (tempat pembuangan akhir). Hal ini terjadi secara global, termasuk di Kota Makassar.

“Saya tidak ingin menjadi pemulung, tetapi ibu memaksa kami untuk bekerja di TPA agar mendapatkan uang untuk sehari-hari. Seringkali saya ikut kakak mengumpulkan sampah. Saya berharap kita semua bisa bermain dan bersekolah secara normal seperti anak-anak lain," ujar Santi, pemulun berusia 13 tahun di Makassar.
Aktivitas pemulung di area TPA Antang Makassar. ANTARA/Nur Suhra Wardyah


Potensi pemanfaatan limbah

Tak hanya temuan masalah, riset limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan juga menyebutkan bahwa sektor elektronik sirkular atau daur ulang sampah elektronik dapat menciptakan 75.000 pekerjaan yang layak dan ramah lingkungan pada tahun 2030. Sebanyak 91 persen berpotensi dikelola oleh perempuan dan berkontribusi pada transisi hijau yang lebih inklusif.

Ada harapan dari pengelolaan limbah elektronik, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru yang berkontribusi pada masa depan ekonomi dan lingkungan yang berkelanjutan.

Save the Children mengapresiasi langkah korporasi yang berupaya melakukan transisi hijau dengan mengedepankan prinsip pemenuhan hak anak, salah satunya adalah penelitian Circular Geniuses yang dilakukan oleh organisasi sosial itu dan Accenture.

Kedua organisasi itu telah melakukan pemetaan potensi dan masalah pengelolaan limbah elektronik di Makassar sejak akhir tahun 2022.

Hal ini bertujuan untuk mendukung keluarga pemulung dengan menjamin kesehatan dan keselamatan, meningkatkan keterampilan dan pendidikan keluarga untuk bangkit dari kemiskinan, serta menjamin pekerjaan yang lebih layak.

Termasuk melindungi anak-anak dari terekspos oleh bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, berupaya memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan akses kesehatan, serta perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan.

Proses pemetaan yang holistik masih berlangsung. Salah satu rangkaian kegiatan pemetaan ini adalah melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kota Makassar dan para pemangku kebijakan, termasuk organisasi berbasis masyarakat dan pihak swasta yang terkait dalam pengelolaan sampah elektronik yang lebih aman di Kota Makassar.

“Dari hasil riset ini, kami berharap kita dapat bersama-sama membangun sistem dan manajemen pengelolaan limbah elektronik yang lebih aman, baik pada manusia maupun lingkungannya," ujar Ferdi Mochtar, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar.

Pemerintah Kota Makassar mendorong adanya ekosistem kemitraan dalam pengelolaan limbah elektronik ini.

Kemajuan teknologi elektronik memang memudahkan hidup manusia. Namun, di balik itu juga menyisakan limbah berbahaya sehingga menuntut langkah konkret bersama untuk mereduksi dampaknya.












 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023