Jakarta (ANTARA News) - Dirjen Perdagangan Luar Negeri Departemen Perdagangan, Diah Maulida, menilai sepatu Indonesia masih aman dari tuduhan dumping Uni Eropa karena pangsa pasarnya masih di bawah tiga persen. "Kalau dari data statistiknya ada beda 0,1 euro. Di kita 9,6 euro, mereka 9,7 euro. Tapi kembali pada pangsa pasar. Kalau kita lihat pangsanya, kita masih di bawah 3 persen, jadi kita tidak terkena tuduhan dumping," katanya di Jakarta, Kamis. Menurut dia, secara keseluruhan ekspor produk alas kaki (footware) Indonesia ke UE mencapai 600 juta dolar AS dan sebagian besar tidak kena tuduhan dumping. "Yang kena tuduhan dumping hanya yang ada `upper leather`nya, yang umumnya non-sport shoes. Kalaupun sport shoes, yang dibuat dengan teknologi khusus itu dikecualikan, seperti Puma dan Reebok," ujarnya. Jadi, lanjut Diah, produk sepatu Indonesia yang terkena dumping masih kecil jumlahnya dan jika dilipatgandakan pangsa pasarnya masih di bawah 3 persen. Lebih murahnya produk sepatu Indonesia, menurut Diah, bukan tindakan yang disengaja oleh eksportir Indonesia tapi akibat permintaan yang besar. "Kalau saya lihat dari siapa saja yang produksi sepatu yang terkena tuduhan dumping atau nomor HS yang sama, tidak banyak perusahaan besar, kebanyakan perusahaan kecil di Bali. Jadi memang kita juga tidak banyak produksinya," jelasnya. Sebelumnya, Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Deperin Anshari Bukhari, mengatakan harga produk sepatu Indonesia di Eropa rata-rata 9,6 euro per pasang, sedangkan produk sepatu Vietnam seharga 9,7 euro per pasang, sehingga dipertanyakan oleh Komisi Eropa. Padahal saat ini Vietnam termasuk negara yang dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD) dari Uni Eropa, di samping Cina. Anshari khawatir bila praktek dumping tersebut terbukti dan berlanjut, maka Indonesia akan kehilangan peluang investasi dari relokasi industri sepatu dunia dan kehilangan kesempatan meningkatkan ekspor ke Eropa menyusul dikenakannya BMAD Cina dan Vietnam. Menurut dia, hasil indikasi awal dan investasi Komisi Eropa mengenai sepatu Indonesia itu telah dikeluarkan secara resmi dalam Komisi Regulasi Uni Eropa Nomor 553 Tahun 2006. BMAD tidak diterapkan terhadap Indonesia karena pangsa pasarnya di Eropa masih kecil sekitar 1,9 persen saja. Sesuai peraturan WTO kalau pangsa pasar suatu produk di satu negara masih di bawah tiga persen, maka tidak kena dumping. Sementara itu, Ketua Umum Aprisindo Eddy Widjarnako mengakui berdasarkan data asosiasi harga sepatu Indonesia biasanya lebih mahal 12-15 persen dari Vietnam dan lebih mahal 22 persen dari Cina. "Kalau lihat harga penjualan normal, bisa saja terjadi `underinvoice` (menjual sepatu dibawah harga pasar di dokumen) agar bisa masuk lebih murah. Hal itu mungkin dilakukan 1-2 pabrik," katanya. Namun ia mengatakan, BMAD biasanya dilakukan suatu negara yang merasa terancam dengan maraknya produk impor yang lebih murah dari produk negeri sendiri. Eddy optimis ekspor sepatu Indonesia ke Eropa akan meningkat seiring dengan masuknya para pemain sepatu dunia yang berorientasi ekspor ke Indonesia.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006