Jakarta (ANTARA) - Sub Kord. Pengendalian Penyakit Menular dan Wasor Kusta Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan Ernawati mengatakan masih tingginya stigma terhadap penderita kusta menyebabkan tenaga kesehatan (nakes) kesulitan dalam menemukan kasus kusta lebih dini.

"Stigma inilah yang menyulitkan kita dalam penemuan kasus lebih dini," kata Ernawati dalam webinar bertajuk "Aksi Nyata Mahasiswa untuk Kusta", di Jakarta, Kamis.

Padahal, kata Ernawati, penularan kusta di Indonesia masih banyak dan cacat tingkat dua akibat keterlambatan pengobatan penyakit ini juga masih tinggi.

Pihaknya mengatakan stigma ini bukan hanya oleh masyarakat sekitar, tetapi juga keluarga, bahkan penderita kusta itu sendiri.

"Kalau seseorang menderita kusta, dia tidak mau keluarganya tahu kalau dia penderita kusta, mungkin karena takut diceraikan, takut dikucilkan," katanya.

Stigma dari keluarga juga menyulitkan pemberian obat kepada penderita.

"Yang seharusnya diobati, ini tidak diobati. Padahal jika tidak diobati, ini menjadi sumber penularan, minimal di keluarganya," katanya.

Ernawati berujar kasus baru di Indonesia saat ini mencapai 12.416 kasus. Jumlah kasus baru kusta Multi Basiler mencapai 11.146 kasus.

Jumlah kasus baru pada perempuan ada 4.506 kasus. Proporsi kasus anak di antara kasus baru yakni 9,89 persen.

"Target yang diberikan semestinya di bawah 5 persen, artinya transmisi penularan kusta di Indonesia masih sangat tinggi," katanya.

Sementara proporsi disabilitas tingkat 2 di antara kasus baru mencapai 6,37 persen.

"Proporsi cacat tingkat 2 di antara kasus baru 6,37 persen, sementara target-nya harus di bawah 5 persen, artinya tingkat keterlambatan dalam penemuan kasus kusta masih tinggi," kata Ernawati.

Baca juga: Kemenkes: Lima penyakit tropis terabaikan masih ditemukan di Indonesia

Baca juga: Kemenkes: Alokasi APBD rendah tantangan penanggulangan kusta di daerah

Baca juga: Kemenkes sebut minat pelajari kusta di kalangan nakes masih minim


 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2023