Untuk kepentingan perlindungan hak politik perempuan pada pencalonan Pemilu 2024, Mahkamah Agung (MA) bisa segera memutus penyelesaian pengujian PKPU ini
Semarang (ANTARA) - Pengajar Hukum Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengatakan Mahkamah Agung bisa memprioritaskan permohonan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023.

"Untuk kepentingan perlindungan hak politik perempuan pada pencalonan Pemilu 2024, Mahkamah Agung (MA) bisa segera memutus penyelesaian pengujian PKPU ini," kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Senin petang.

Titi merupakan salah satu pemohon uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ke MA, Jakarta, Senin siang.

Permohonan yang diajukan diwakili oleh lima pemohon (dua badan hukum privat dan tiga perseorangan), yakni Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, Hadar Nafis Gumay, Titi Anggraini, dan Wahidah Suaib.

Dalam permohonan ini, lanjut Titi, pihaknya juga mengajukan dua orang ahli, yakni Dr. Rotua Valentina Sagala, S.E.,S.H.,M.H. dan Dr. Ida Budhiati S.H., M.H. untuk memperkuat dalil-dalil permohonan tersebut.

Baca juga: Koalisi masyarakat sipil ajukan JR Pasal 8 ayat 2 PKPU No.10/2023

Baca juga: Komisi II DPR setujui tiga Rancangan PKPU dan Perbawaslu


Menjawab mengenai tahapan pengajuan bakal calon anggota legislatif sudah selesai hingga 14 Mei 2023, Titi mengatakan bahwa putusan MA terkait dengan uji materi PKPU ini pemberlakuannya masih bisa pada Pemilu 2024.

"Hal ini mengingat proses pada saat ini masih perbaikan berkas, dan belum dilakukan penetapan daftar calon sementara (DCS)," kata anggota Dewan Pembina Perludem ini.

Pada tahapan Pemilu 2024 saat ini, KPU tengah verifikasi administrasi dokumen persyaratan bakal calon yang dijadwalkan berakhir hingga 23 Juni 2023.

Adapun yang diujimaterikan soal ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, Pasal 245 terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Selain itu, terhadap UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi terhadap Wanita.

Baca juga: Koalisi sipil audiensi dengan MK terkait PKPU pencalegan eks koruptor

Para pemohon meminta kepada Mahkamah Agung untuk menyatakan Pasal 8 ayat (2) PKPU No. 10/2023: "Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) Kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 atau lebih hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas adalah ketentuan bertentangan dengan UU No. 7/2017 dan bertentangan dengan UU No. 7/1984."

Pemohon juga meminta untuk ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU 10/2023 dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: "Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas."

Dengan demikian, bunyi pasal a quo selengkapnya berbunyi: Pasal 8 ayat (2): "Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas."

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2023