Sorong (ANTARA) - Tanah Papua menyimpan berbagai cerita. Papua memiliki kekayaan sumber daya alam hingga kekayaan budaya yang tercermin dari keberagaman suku dan bahasa. Salah satu suku di Tanah Papua adalah Suku Moi.

Suku Moi adalah salah satu suku dari dataran Papua yang tinggal di daerah pesisir utara. Suku Moi  kini banyak mendiami sebagian daerah Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Suku Moi terbagi menjadi tujuh sub suku, di antaranya adalah Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.

Tokoh Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi, Benyamin Kalami (65) mengemukakan, pada awalnya Suku Moi hanya mendiami satu tempat, yaitu di Kampung Maladofok (kampung kuno yang terletak sekitar dua kilometer di barat Desa Malaumkarta).

Namun, setelah adanya bencana alam, Suku Moi mengungsi ke sejumlah daerah, seperti ke Desa Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi yang tergabung dalam daerah yang dijuluki sebagai Malaumkarta Raya. Di Kabupaten Sorong banyak terdapat masyarakat Suku Moi.

Pria yang akrab disapa sebagai Bapak Beka itu  saat ditemui ANTARA di Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong pada Selasa (6/6), bahkan sempat mengenalkan sejumlah kata dalam bahasa Suku Moi seperti Lauobok yang artinya selamat pagi, deuobok yang berarti selamat siang, iungobok yang bermakna selamat sore, leungobok artinya selamat malam, dan na menak berarti mari makan. 
 
Tokoh Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi, Benyamin Kalami (65) saat bercerita tentang sejarah Suku Moi saat ditemui di Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Senin (5/8/2023). (ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Sejak zaman dahulu Suku Moi merupakan suku yang terbiasa melaut. Maka dari itu, hingga saat ini Suku Moi dan perahu tidak bisa dipisahkan. Perahu dalam bahasa Moi disebut kama. Perahu sudah ada sejak zaman nenek moyang Suku Moi.

Terdapat beberapa bagian yang mencirikan bahwa perahu tersebut adalah perahu khas Suku Moi, di antaranya adalah dengan adanya susung (bangunan seperti rumah) yang berfungsi sebagai tempat melindungi diri dan barang logistik dari hujan.

Selain itu, perahu Suku Moi dibuat dari kayu selawaku yang merupakan kayu yang berasal dari daerah dimana Suku Moi tinggal yang disebut sebagai Tanah Moi oleh penduduk setempat. Perahu itu digunakan untuk balobe (mencari) ikan saku. Selain itu, pada zaman dahulu dipakai untuk berjualan sagu dan buah ke kota.

Suku Moi juga memiliki budaya menghias perahu. Suku Moi menghiasi perahu mereka sebagaimana mereka menghargai kaum perempuan Suku Moi dengan hiasan.

Satu perahu Suku Moi dapat memuat hingga empat orang. Penduduk asli Suku Moi lebih senang menggunakan perahu tersebut karena perahu yang dibuat merupakan perahu tanpa mesin.

 
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi melaut untuk mencari ikan guna dimakan bersama pada penutupan festival Egek di Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (8/6/2023) (ANTARA/Sean Filo Muhamad)


Budaya Egek

Suku Moi sejak dahulu kala menerapkan budaya Egek, yaitu budaya adat tentang menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Maka dari itu, Suku Moi lebih senang menggunakan perahu adatnya dibandingkan dengan perahu bermesin.

Egek, atau Sasi dalam budaya Maluku, merupakan budaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan tidak mengambil hasil-hasil alam tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat sudah lama diterapkan oleh Suku Moi. Esensi dari budaya Egek adalah mengambil secukupnya dari alam dan tidak mengeksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.

Jika MHA Suku Moi memiliki hajat tertentu seperti pembangunan fasilitas umum, atau hajat lainnya yang memerlukan dana besar, maka MHA Suku Moi melakukan acara Buka Egek yang bermaksud untuk membuka kembali perjanjian yang telah disepakati sampai waktu tertentu agar dapat membantu mereka dalam menunaikan hajatnya.

Buka Egek merupakan waktu dimana Suku Moi kembali melaut, mengambil hasil bumi untuk warga Suku Moi konsumsi sendiri. Meski demikian, Egek juga berlaku pada sumber daya alam lainnya seperti tanah dan hutan tergantung dimana MHA Suku Moi itu tinggal.

Tidak hanya itu, sebagian MHA Suku Moi terutama Moi Kelim yang mendiami Desa Malaumkarta dan Desa Suatolo juga telah menerapkan sumber energi terbarukan dalam penggunaan energi listrik.

Sebelum tahun 2016 silam, MHA Suku Moi Kelim belum tersentuh aliran listrik. Namun setelahnya, masyarakat berinisiatif untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang ramah lingkungan.

 
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi menyajikan sesaji sebelum dilarung di laut pada ritual Egek pada pembukaan Festival Egek yang diadakan di Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Senin (5/6/2023). (ANTARA/Sean Filo Muhamad)
Berkat kegigihan MHA Suku Moi dalam mempertahankan Egek sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup, Suku Moi diakui sebagai kelompok MHA oleh Pemerintah Kabupaten Sorong pada tahun 2017.

Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum seluas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan. Biasanya, MHA Suku Moi hanya melaksanakan Buka Egek dengan ritual tradisional khas Suku Moi seperti dengan tarian adat yang bernama tarian a'len.
 
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi menarikan Tarian A'len, tarian adat Suku Moi sebagai tanda penyambutan tamu pada pembukaan Festival Egek yang diadakan di Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Senin (5/6/2023)
 
Pada tahun ini, MHA Suku Moi melaksanakan Buka Egek sekaligus mengadakan acara Festival Egek yang diselenggarakan pada 5-8 Juni 2023. Acara tersebut mendapat dukungan penuh dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun berbagai kementerian serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani isu pelestarian lingkungan hidup.

Dari Festival Egek setidaknya dapat ditarik pelajaran bahwa budaya Egek yang menjadi kearifan lokal Suku Moi dapat menjadi contoh bagi  masyarakat pada umumnya agar tidak serakah dalam memanfaatkan kekayaan alam. Alam harus dijaga kelestariannya, bukan diekploitasi tanpa memikirkan keberlanjutannya. 
 

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2023