... ada sejumlah tantangan yang harus diatasi pemerintah Indonesia.
Jakarta (ANTARA) - Sastrawan Inggris George Orwell dalam novel distopia "1984" menuliskan kalimat "If you kept the small rules, you could break the big ones" yang diterjemahkan menjadi "Jika kamu mematuhi aturan-aturan kecil, maka kamu dapat memecahkan aturan besar".

Dengan menekuni hal-hal kecil, seseorang memang berkesempatan untuk menaklukkan hal yang lebih besar.

Kira-kira itu juga yang dilakukan oleh Denmark, negara kecil berpenduduk 5,8 juta orang (0,07 persen penduduk dunia) di semenanjung utara benua Eropa itu dalam upaya pengurangan emisi di dunia.

Sejak tahun 1990 hingga 2021, Denmark secara konsisten melakukan kerja-kerja pengurangan emisi karbon dioksida (CO2) hingga 43 persen, mengurangi konsumsi air hingga 39 persen, dan mengurangi konsumsi energi 11 persen sehingga Denmark saat ini "hanya" menyumbang 0,1 persen emisi CO2 di dunia.

"Akan terapi apa yang dilakukan Denmark untuk mengatasi perubahan iklim tidak akan membuat perbedaan di dunia dibanding bila Indonesia yang melakukannya karena Indonesia adalah negara yang besar," kata Team Leader Indonesian-Denmark Energy Partnership (INDODEPP) Anders Kruse di Kopenhagen, Denmark pada Rabu (14/6).

Anders menyampaikan hal tersebut kepada para jurnalis dalam program "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Kedutaan Besar Denmark.

Indodepp adalah program kemitraan energi lima tahun (2020-2025) antara Indonesia dan Denmark yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional Indonesia secara berkelanjutan dalam memenuhi target Nationally Determined Contributions (NDC), target Sustainable Development Goal (SDG) 7 dan SDG13, serta pencapaian target 23 persen energi terbarukan pada 2025. Pelaksanaan kegiatan Indodepp dibiayai oleh Kementerian Luar Negeri Denmark.

Ada empat target dari Indodepp hingga 2025 yaitu (1) Rencana jangka panjang bidang energi dan regulasinya untuk mengidentifikasi model energi jangka panjang, (2) Integrasi energi terbarukan, (3) Efisiensi energi di bangunan, industri dan pembangkit listrik untuk mengurangi tambahan produksi energi, dan (4) Pembangunan rendah karbon di level provinsi.


Kesempatan dan tantangan

"Indonesia sangat beruntung karena memiliki berbagai jenis energi terbarukan dan ini juga menjadi temuan yang menarik bagi kami. Di Denmark kami memiliki pembangkit dari energi angin dan juga Matahari, namun Matahari terbatas saat musim dingin. Kami juga memiliki tenaga hidro tapi kami mengimpornya dari Norwegia, sedangkan Indonesia punya semuanya, angin, surya, dan hidro termasuk juga geothermal," ungkap Anders.

Anders sudah 4 tahun menangani proyek Infodepp di Indonesia dan banyak bermitra dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta PLN.

Namun dari keunggulan tersebut, Anders mengaku ada sejumlah tantangan yang harus diatasi pemerintah Indonesia.

"Kadang perusahaan internasional kesulitan untuk berbisnis di Indonesia. Pertama karena ada banyak kementerian dengan berbagai kebijakan, mereka tidak duduk bersama, dan mengambil satu kebijakan," ujarnya.
.
Anders menyebut bila satu calon operator datang ke Indonesia, ia harus berbicara dengan lima kementerian yang berbeda dan mengikuti proses yang berbeda juga. Berbelitnya birokrasi itu tetap terjadi meski Anders mengaku sudah menyampaikan kesulitan itu kepada mitra di Indonesia.

Masalah kedua adalah tidak transparannya data soal energi di Indonesia.

"Akan sangat membantu bila kami bisa masuk ke 'ruang mesin' energi di Indonesia sehingga dapat dengan mudah mengetahui di mana masalahnya dan baut mana yang harus dipasang," ungkap Anders.

Menurut pengamatannya, antara kementerian atau bahkan di dalam satu kementerian tidak saling berbagi data. Hal itu terjadi mungkin karena perbedaan kontrak atau bahkan keputusan politik.

"Di Denmark, kami sangat transparan dan terbuka, bahkan lebih terbuka dibanding negara lainnya sehingga banyak orang yang datang ke Denmark untuk belajar energi dan kami punya banyak statistik dan semua data tersedia," tambah Anders.

Apalagi data milik Denmark diklaim Anders akurat.

Namun dengan kondisi tersebut, Anders menilai Indonesia tetap punya kesempatan dalam melakukan transisi energi, termasuk dalam penggunaan kendaraan listrik.

"Butuh waktu 20 tahun atau bahkan mungkin lebih untuk mendorong publik mengganti mobil berbahan bakar minyak jadi mobil dan motor listrik. Ini bukan sesuatu yang bisa dilakukan dalam semalam. Indonesia harus memulai secepatnya dan dengan cara yang efektif," ungkap Anders.

Karena itu, Anders menyebut,l perencanaan menjadi tahapan penting. Salah satu contoh perencanaan yang kurang matang adalah kelebihan listrik.

PLN memang mencatat sejak 2020 terdapat peningkatan kelebihan daya (oversupply) kapasitas pembangkit listrik dengan cadangan daya (reserve margin) pada 2020 tercatat 39,9 persen, pada 2021 sebesar 37 persen dan 2022 diperkirakan naik lagi menjadi sebesar 56 persen.

Sisi pasokan semakin bertambah dengan mulai beroperasinya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara dari program 35.000 megaWatt (MW).

"Produksi listrik dari PLTU Batu bara mungkin sedikit kelebihan perkiraan. Saya tidak bisa menyampaikan angkanya tapi banyak pihak mengatakan perkiraan tersebut overestimated  karena banyak PLTU sudah tua dan sudah waktunya dihentikan. Dengan kondisi itu, sulit bagi pembangkit dari energi terbarukan bisa berdiri khususnya di Jawa dan Bali," ungkap Anders.

Namun industri-industri di luar Jawa dan Bali saat ini mulai bermunculan, misalnya, di Kalimantan dan Sulawesi, termasuk dengan dibangunnya smelter besar yang butuh daya listrik besar sehingga Anders menyarankan untuk membangun pembangkit listrik dari energi terbarukan di luar Jawa Bali.

"Concern lainnya adalah terkait pemilu tahun depan jadi saat ini kami berusaha sekeras mungkin untuk menyelesaikan proyek yang ada sebelum pemilu dimulai karena banyak mitra kami di Indonesia juga menggantungkan kerjanya dari hasil pemilu," ungkap Anders.

Terlepas dari hal itu, Anders percaya bahwa di Indonesia punya banyak sumber daya manusia yang terdidik dan terlatih dalam mengembangkan pembangkit listrik energi terbarukan.


Reaktor nuklir kecil

Teknologi energi terbarukan yang juga mulai berkembang di Denmark adalah nuklir.

Memang pada 1985 parlemen Denmark mengeluarkan kebijakan bahwa negara itu tidak akan mendirikan pembangkit listrik tenaga nuklir di dalam negeri. Namun Denmark mengimpor sekitar 3-4 persen kebutuhan listrik dari tenaga nuklir negara tetangga.

Salah satu perusahaan rintisan di Denmark yaitu Seaborg sedang mengembangkan teknologi Compact Molten Salt Reactor (CMSR) yang dengan menggunakan prinsip nuklir.

Head of Business Development Seaborg Nikolaj Ager Hamann pun sudah pernah berhubungan dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) terkait teknologi yang sedang dikembangkan itu.

"CMSR memiliki keunggulan karena merupakan reaktor nuklir modular kecil dengan standar keselamatan lebih tinggi karena menggunakan garam sebagai palet penahan. Teknologi ini juga meminimalkan limbah radioaktif dan dapat dibuat sebagian besar dari komponen bahan baku industri yang sudah tersedia sehingga pembangunannya lebih mudah dan cepat," ungkap Nikolaj pada 15 Juni 2023.
Head of Business Development Seaborg Nikolaj Ager Hamann menyampaikan paparan kepada peserta program "Indonesian Climate Journalist Network" (ICJN) di Kopenhagen, Denmark pada Kamis (15/6). ANTARA/Desca Lidya Natalia


Menurut Nikolaj, CMSR cocok diterapkan di Indonesia karena reaktor tersebut dapat disesuaikan ukuran, tempat, dan kebutuhannya.

Reaktor itu bisa ditempatkan di atas kapal laut yang terapung, dan juga bisa ditempatkan bersama-sama, misalnya, 2 reaktor yang menghasilkan 200 MW atau 4 reaktor yang menghasilkan 400 -- 600 MW hingga maksimal bisa 8 reaktor yang menghasilkan 800 MW.

Tidak seperti kebanyakan reaktor jenis lain yang menggunakan bahan bakar padat, teknologi CMSR menggunakan bahan bakar cair yang dianggap lebih efisien. Selain itu moderator atau bahan perantara yang berasal dari garam yang dimurnikan juga jadi bagian penting dalam teknologi CMSR.

Bahan bakar CMSR stabil secara kimia dan produk fisi berumur pendek. Oleh karena itu secara radiologis, limbahnya mirip dengan limbah radioaktif rumah sakit dan dapat ditangani dengan menggunakan metode konvensional.

Teknologi tersebut sesungguhnya sudah lama dikembangkan sejak 1958 namun kurang populer dibandingkan dengan teknologi lain dan belum dikomersialkan secara luas.

Harga reaktor terkecil adalah sekitar 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp17,9 miliar) sedangkan terbesar dapat mencapai 3,5 miliar dolar AS (Rp52,3 miliar) dan di Indonesia diperkikan dapat dijual seharga 85 dolar AS (Rp1,27 juta) per megawatt hour (MWH)

"Harga tersebut masih lebih bagus dibandingkan harga dari pembangkit tenaga surya yang membutuhkan lahan luas dan juga masih lebih rendah biayanya dari biaya untuk membuat pembangkit listrik tenaga angin di Indonesia, sepengetahuan saya," ungkap Nikolaj.

Namun Nikolaj menggarisbawahi bahwa perusahaannya masih membangun produk CMSR tersebut dan diperkirakan reaktor CMSR pertama akan beroperasi pada 2030 di Korea Selatan, sebagai negara mitra utama Seaborg. Sejumlah negara Asia Tenggara juga tertarik menggunakan reaktor miliknya, seperti Filipina dan Vietnam.

Meski punya peluang pasar, Nikolaj mengakui bahwa nuklir bukan hanya punya nilai jual ekonomi, melainkan juga bisa digunakan untuk kebutuhan militer.

"Memang ada pro dan kontra, terutama untuk masalah keselamatan, tapi kebocoran di fasilitas nuklir yang selama ini pernah terjadi bukan dengan menggunakan teknologi CMSR namun karena air pendingin reaktor terlalu panas sehingga air tersebut yang bocor sedangkan dalam produk kami menggunakan pengaman dari garam yang telah dimurnikan, namun memang tetap saja Anda tidak dapat meluncurkan satu produk nuklir yang 'mungkin' aman, unsur keamanan menjadi yang nomor satu untuk produk ini," ungkap Nikolaj.

Baik nuklir maupun jenis energi terbarukan lainnya, agar dapat dimanfaatkan di Indonesia, membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni baik yang menjadi pengambil kebijakan maupun pelaksana kebijakan.



 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023