Pamekasan (ANTARA) - Setiap kita adalah pemimpin, dan pemimpin yang baik harus memiliki kualitas, kapasitas, dan integritas, sebagaimana yang telah diatur oleh Allah dalam Al Quran.

Kalimat pembuka khotbah yang disampaikan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan, Sumenep, Jawa Timur Dr KH Ahmad Fauzi Tidjani saat menjadi khatib pada Shalat Idul Adha di halaman Bakorwil 4 Pamekasan ini, mengingatkan akan peran penting manusia sebagai khalifah atau Wakil Tuhan di muka Bumi dengan tugas pokok melestarikan dan memakmurkan Bumi beserta isinya.

Peran kekhalifahan inilah yang menjadi pertimbangan Allah Swt untuk menjadikan manusia sebagai makhluk penyampai risalah (rasul), apalagi ia tercipta dalam sebaik-baik bentuk (ahsani taqwim), meski pada sisi lain, makhluk yang memiliki bentuk terbaik ini juga memiliki kekurangan, yakni sebagai makhluk yang memiliki sifat lupa dan keliru (mahallul khatha' wan-nis'yan).

Sebutan bahwa manusia lebih mulia dari pada malaikat dan di satu sisi bisa lebih rendah derajatnya dari binatang, karena jenis makhluk ini memang merupakan hewan yang berakal (hayawanun-natiq) menempatkan manusia sebagai makhluk yang serba bisa, termasuk bisa menjadi pemimpin di antara manusia yang lain.

Maka menjadi wajar, apabila Allah memberikan perhatian khusus kepada manusia sebagai nabi, yakni, penerima wahyu untuk dirinya sendiri, serta penerima wahyu dari Allah untuk disampaikan kepada umat manusia lainnya, yang dalam kitab suci Al Quran disebut dengan rasul.

Dalam literatur keagamaan, jumlah nabi seluruhnya mencapai 124 ribu, 313 di antaranya merupakan nabi dan rasul, dan sebanyak 25 di antara nabi dan rasul ini disebutkan dalam teks Al Quran. Dua di antaranya adalah mendapatkan sebutan suri tauladan yang baik (uswatun hasanah), yakni Nabi Muhammad Saw dan Nabi Ibrahim As.

Nabi Ibrahim dikenal sebagai bapaknya para nabi atau 'abu al an-biya'. Nabi-nabi yang diutus sebelum Nabi Ibrahim itu rata-rata tidak berjumpa dan tidak bertemu dalam satu silsilah keturunan, atau dari orang tua yang sama, meskipun semuanya merupakan anak cucu Nabi Adam.

Sejak Nabi Ibrahim As diutus oleh Allah sebagai rasul, maka nabi-nabi dan rasul setelah itu semuanya adalah anak cucu keturunan yang silsilah nasabnya kepada Nabi Ibrahim.

Selain karena memang telah menjadikan pilihan Allah Swt, status dan peran Nabi Ibrahim sebagai 'abu al an-biya' juga berkat doa yang ia panjatkan dan dikabulkan oleh Allah Swt sebagaimana tertuang dalam Al Quran surat Al-Baqarah ayat 124.

"Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia." Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku." Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim".

Konsekwensi pilihan pada pemimpin berkualitas ini, maka Allah sendiri yang kemudian mendidik karakter Nabi Ibrahim sebagai pemimpin yang harus siap dan rela berkorban. Berkorban mengalahkan kepentingan diri dan kelompoknya, mengalahkan egoisme, dan kepentingan jangka pendek dengan hanya menghambakan diri kepada Allah.

Pendidikan keluarga, nampaknya menjadi syarat untuk memimpin umat manusia. Ketaatan sebuah keluarga kepada Allah Swt menjadi modal dasar dalam berupaya membina ketaatan umat, termasuk dalam membina dan membentuk karakter anak.

Di sinilah Allah Swt kemudian menguji keluarga Nabi Ibrahim As dengan memerintahkan untuk mengorbankan dengan menyembelih putra semata wayangnya yang bernama Ismail.

Perintah yang disampaikan Allah melalui mimpi itu, tentu menjadi dilema, mengingat Nabi Ismail merupakan putra satu-satunya. Akan tetapi ketakwaan yang tak ternilai kepala Allah telah membulatkan tekat Nabi Ibrahim untuk tetap menyampaikan perintah itu kepada putranya.

Dengan penuh kelembutan, tawadu dan penuh rasa kasih sayang, ia menyampaikan perintah Allah itu sebagaimana dalam mimpinya.

"Wahai puteraku yang aku sayangi, aku telah melihat dalam mimpi aku menyembelih engkau dengan perintah dan izin dari Allah. Sampaikan apa pendapatmu?"

Penyampaikan perintah Allah dalam bentuk dialogis ini sengaja dilakukan, karena Nabi Ibrahim ingin putranya Ismail mengambil keputusan secara mandiri, tak tertekan dan sesuai dengan keinginannya sendiri.

Pola komunikasi interaksionisme simbolik yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada putranya Nabi Ismail mampu mengomunikasikan hati dan pikiran antara sang ayah dengan anak, sehingga pertanyaan dalam penuturan perintah 'menyembelih' ini juga mampu dipahami dengan baik oleh Nabi Ismail dengan penuh kepasrahan dan ketakwaan hanya kepada Allah Swt.

Nabi Ismail langsung menjawab "Wahai Ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Jawaban Nabi Ismail ini telah meneguhkan komitmen di keluarga itu bahwa ketakwaan dan kemampuan menerima ujian Allah Swt merupakan hal pertama dan utama yang tertanam dengan kuat, sehingga mereka mengabaikan kecintaan dalam bentuk apapun kepada selain Allah, meskipun pada akhirnya penyembelihan itu  gagal karena Allah mengganti Ismail dengan hewan sembelihan.

Kisah Nabi Ibrahim dan putranya Nabi Ismail tersebut terkandung pelajaran berharga bahwa Allah meminta kita untuk mematuhi proses awal, bukan melihat hasilnya. Allah akan menilai bagaimana kita ini berproses untuk menjadi orang yang beriman, menjadi orang yang bertakwa, menjadi ayah yang saleh bagi keluarganya, yang telah dididik dengan nilai-nilai keimanan kepada Allah hingga kelak menjadi keluarga yang diberkahi oleh-Nya.

Setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari ibadah kurban yang disyariatkan Allah Swt. Pertama, nilai-nilai kepemimpinan yang dasarnya takwa kepada Allah, menaati perintah dan menjauhi larangan Allah.

Kedua, kepemimpinan itu harus dimulai dari rumah tangga. Jika keluarga kita mampu dididik dengan baik, insya Allah kita bisa memimpin umat manusia ini ke jalan yang diridoi oleh Allah.

Ketiga, 'menyembelih' sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia, karena maksud dari ibadah kurban tersebut bukan hanya menyembelih seekor kambing, sapi, ataupun unta, melainkan juga yang lebih dasar dari itu, yakni harus menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia, sebagai hewan atau binatang yang berakal (hayanun-natiq).

Karena itu, ketika menyembelih hewan kurban, maka niat yang harus tertanam kuat di lubuk hati adalah ingin menaati perintah Allah, meninggalkan rasa tamak dan cinta kepada dunia, menyingkirkan rasa sombong dan egois, serta menyingkirkan perasaan-perasaan yang buruk terhadap Allah.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2023