Hampir seluruh ruang kehidupan, baik di dunia nyata maupun maya, telah terkepung oleh paparan iklan ...
JAKARTA (ANTARA) - Iklan, dikreasikan dengan bahasa penggoda yang dikonstruksikan sedemikian rupa hingga merasuk ke alam persepsi pemirsa, mengandung unsur propaganda dan terselip pesan terselubung di dalamnya. Dibutuhkan kesadaran kritis pemirsa untuk mencerna bahasa manisnya agar tak mudah termakan bujukan iklan.

Hampir seluruh ruang kehidupan, baik di dunia nyata maupun maya, telah terkepung oleh paparan iklan karena advertensi hadir dalam beragam bentuk yang muncul ke berbagai mimbar media. Mulai dari iklan cetak, elektronik, audio, dan video yang menyebar melalui media online, radio, televisi, hingga media sosial, juga pariwara luar ruang. Nyaris tak tersisa ruang yang terbebas dari sebaran pesan pariwara.

“Iklan merupakan pesan yang disebarluaskan kepada khalayak untuk memberikan sesuatu atau menawarkan jasa melalui media,” sebagaimana didefinisikan Onong Uchjana Effendy melalui buku Kamus Komunikasi (1989).

Pariwara sebagai media promosi bagi industri barang, jasa, produk jadi, serta lainnya, memiliki kontribusi dalam membentuk gaya hidup konsumerisme. Kemunculannya menjadi penggoda pemirsa untuk mengikuti tren yang dijejalkan ke benak setiap waktu.

Dahsyatnya pengaruh propaganda dalam tayangan pariwara pada kenyataannya telah memberikan pengaruh terhadap perilaku belanja masyarakat. Mengenai propaganda, seorang filsuf Prancis Jacques Ellul mendefinisikan, “Suatu cara untuk mencapai kekuasaan dengan cara memanipulasi secara psikologis suatu kelompok atau massa, atau dengan cara menggunakan kekuatan ini dengan dukungan dari massa”.

Tidak sedikit pemirsa yang termakan rayuan iklan, lewat tayangan televisi yang dikemas begitu menarik dan atraktif, hingga mereka langsung percaya dan meyakini tentang keistimewaan dari produk yang ditawarkan. Bagaimana tayangan pariwara memainkan manipulasi selaras dengan istilah hiperealitas yang diperkenalkan oleh filsuf kontemporer Jean Baudrillard dalam teori masyarakat konsumen.

Mengapa para pelaku periklanan seolah tak merasa berdosa bermain tricky di wilayah persepsi pemirsa? Mungkin karena mereka menggunakan tindak tutur jenis perlokusi yaitu bentuk tuturan yang tidak mencerminkan tanggung jawab beserta konsekuensi praktis yang ditimbulkan oleh si penutur seperti meyakinkan, membujuk, dan memengaruhi.

Perlukosi adalah satu dari tiga jenis tindak tutur (speech acts) hasil pemikiran profesor filsafat bahasa berkebangsaan Britania Raya, John Langshaw Austin.

Padahal, dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI, 2007) mensyaratkan dipatuhinya tiga asas dalam eksekusi tayangan iklan yakni yang pertama: jujur, benar, dan bertanggung jawab; kemudian dianjurkan bersaing secara sehat; serta melindungi dan menghargai khalayak dengan tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Dijelaskan pula bahwa EPI diperlakukan sebagai sistem nilai dan pedoman terpadu tata krama (code of conducts) dan tata cara (code of practices) yang berlaku bagi seluruh pelaku periklanan Indonesia.

 

Fakta pariwara

Adakalanya info yang disampaikan dalam pariwara memang dibutuhkan publik namun cara kemunculan dan gaya tipu dayanya kadang menyebalkan. Inilah beberapa fakta tentang pariwara.

- Memaksa. Banyak materi iklan yang diinjeksi ke dalam program atau konten sehingga audiens terpaksa menontonnya karena tidak ada opsi atau fitur untuk melewatkannya.

- Mengganggu. Karena cara kemunculannya yang memaksa sehingga pariwara terasa menganggu ketika warga (net) ingin menikmati sebuah konten atau program acara, namun pesan sponsor yang berseliweran kelewat banyak.

- “Menipu”. Gaya propaganda tayangan pariwara tak jauh dari unsur manipulasi karena tugasnya menggoda pemirsa sehingga harus menggunakan cara tipu daya atau disebut dengan hiperealitas guna menciptakan keadaan yang seolah-olah nyata bagi konsumen.

- Menjatuhkan. Dalam upaya menggaet pemirsa untuk menjadi konsumen setianya, tak jarang tayangan iklan melakukan klaim-klaim tidak berdasar dengan menyatakan diri sebagai produk terbaik dan nomor satu dari jenisnya  sehingga secara tidak langsung menjatuhkan produk lain. Bahkan gaya menjatuhkan produk kompetitor kerap juga dilakukan secara langsung melalui narasi serupa “bila ada yang bagus kenapa memilih yang biasa” atau “…yang lain pasti ketinggalan” dan lain sebagainya.

- Mau tak mau. Ada hubungan simbiosis mutualisme antara industri media dengan industri produk konsumsi. Media membutuhkan biaya besar untuk memproduksi program acara atau konten, sedangkan industri memerlukan media untuk mempromosikan aneka produknya. Jadilah keduanya saling menopang. Sementara pemirsa membutuhkan tontonan yang memberinya pencerahan dan hiburan, namun tidak bisa menolak kemunculan iklan yang bertebaran. Meski terasa mengganggu, mau tak mau harus diterima satu paket bersama program acara kesayangannya.

 

Konsumen kritis

Jadilah konsumen kritis yang tidak serta merta menelan bulat-bulat setiap informasi yang diterima, termasuk tayangan pariwara. Agar tidak mudah teperdaya, ada baiknya cermati beberapa hal berikut terkait iklan.

1. Syarat dan Ketentuan. Banyak iklan yang memberi harapan menyenangkan namun rupanya mencantumkan syarat dan ketentuan (S&K). Pada iklan cetak atau iklan luar ruang, pesan terselubung S&K biasanya disembunyikan di bagian bawah dengan tanda bintang dan ukuran huruf yang lebih kecil. Bila tidak teliti, calon konsumen hanya akan fokus pada tawaran menggiurkan tanpa menyadari jebakan S&K-nya.

2. Promo dan diskon. Harap dipahami bahwa industri yang menjual produk, mereka menggunakan prinsip bisnis dengan perhitungan untung rugi, bukan yayasan sosial yang biasa beramal. Jadi jangan percaya begitu saja dengan bahasa promo, potongan harga, atau iming-iming pengembalian uang (cashback). Hampir pasti ketika dikalkulasi setelah diskon atau pengembalian uang, maka hasil akhirnya adalah harga wajar dari produk tersebut. Kalau pun harganya benar-benar menjadi terbilang murah, mungkin saja barang itu lama tidak laku sehingga dilakukan cuci gudang, atau barang cacat produksi, dan bisa jadi produk yang mendekati masa kedaluwarsa. Pokoknya bersikap skeptis saja, tidak apa-apa.

3. Model iklan. Jika kebetulan model yang memperagakan iklan sebuah produk itu adalah idola Anda, jangan naif dengan mempercayai bahwa selebritas idola itu benar-benar menggunakan atau mengonsumsinya dalam keseharian mereka. Para model iklan memang dibayar untuk memerankan pemakaian produk sponsor.

4. Seperti sulapan. Iklan produk kecantikan atau perawatan tubuh, biasanya menjanjikan perubahan dalam waktu singkat. Apakah janji manis itu masuk akal? Tentu perubahan harus melewati proses, dan proses yang terlalu cepat biasanya berdampak timbulnya efek samping. Jadi jangan berharap menjadi cantik seperti model iklan yang memperagakan produk perawatan wajah dengan proses singkat seperti sulapan.

5. Sombong. Hindari membeli produk yang ditawarkan melalui iklan yang “sombong” dengan klaim sebagai yang terbaik dan mengalahkan produk lain (kompetitornya). Tampilan tayangan iklan bisa merepresentasikan nilai-nilai yang dianut sebuah perusahaan. Perusahaan yang bermoral baik, akan menerapkan persaingan sehat dengan tidak menjatuhkan para pesaingnya. Maka, tak perlu ikut memperkaya perusahaan-perusahaan yang kurang berakhlak itu.

Bagaimanapun kesadaran kritis konsumen perlu terus ditanamkan agar terhindar dari efek hiperealitas iklan yang menyilaukan.

Ilustrasi Iklan properti, cermati tanda bintang yang mengindikasikan ada S&K. ANTARA/Sizuka

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023