Kami sudah terbiasa menghadapi masalah, dan jujur saja, saat ini bukan krisis yang terburuk yang kami hadapi,
Jakarta (ANTARA) - Tanpa Elvira Nabiullina, Vladimir Putin mungkin tak akan berhasil menyelamatkan Rusia dari dampak perang, entah itu setelah menganeksasi Krimea pada 2014 maupun saat Perang Ukraina yang sampai kini masih berlangsung.

Nabiullina adalah Gubernur Bank Sentral Federasi Rusia.

Dua belas tahun setelah lulus dari Universitas Negeri Moskow pada 1986, Nabiullina bekerja pada Serikat Ilmu dan Industri Uni Soviet yang kini bernama Serikat Industrialis dan Wirausaha Rusia.

Setelah itu, dia mengabdi kepada Kementerian Perdagangan.

Setelah bekerja untuk sebuah bank selama beberapa tahun, Nabiullina kembali mengabdi kepada Kementerian Perdagangan pada 2000, dengan menjadi wakil menteri dalam kabinet Perdana Menteri Vladimir Putin.

Sejak itu, Nabiullina tak terpisahkan dari Putin. Manakala Putin menjadi Presiden pada 2000, dia ditunjuk sebagai Menteri Perdagangan. Dua belas tahun kemudian menjadi penasihat ekonomi Putin.

Pada 2013, Putin mengangkat Nabiullina sebagai Gubernur Bank Sentral Rusia, hingga sekarang.

Selama mengisi pos ini, Nabiullina dipuji dari mana-mana karena berhasil menakhodai Rusia sehingga sukses menekan inflasi tapi saat bersamaan sukses mempertahankan suku bunga pada tingkat rendah.

Dia juga disanjung dunia karena mempertahankan rezim mata uang mengambang di tengah sanksi Barat pada 2014, padahal saat itu Rusia saja tergoda mengadopsi rezim kurs tetap yang antipasar.

Nabiullina sebenarnya menjadi satu dari banyak ekonom Rusia yang menentang perang Rusia di Ukraina. Hanya karena mengkhawatirkan dampak perang terhadap pencapaian ekonomi selama 2014-2022 dan rakyat Rusia, Nabiullina memutuskan tetap mendampingi Putin.

Ada sebuah peristiwa menarik sebulan sebelum Rusia menginvasi Ukraina, yang dikisahkan dalam laporan harian ekonomi The Financial Times.

Ketika itu, sekelompok teknokrat, termasuk Nabiullina, menemui Putin di kediaman sang presiden di Novo-Ogaryovo di luar Kota Moskow.

Mereka berusaha meyakinkan Putin mengenai dampak negatif kemungkinan sanksi Barat terhadap Rusia. Saat itu mereka tak tahu seberapa serius Putin hendak menyerang Ukraina.

Mereka mengingatkan bahwa sanksi akan membuat pasar keuangan panik, ekonomi Rusia mundur 10 tahun ke belakang, produk domestik bruto (PDB) terpangkas 30 persen, inflasi melonjak 35 persen, dan kualitas hidup rakyat Rusia akan turun akibat pembatasan impor yang membuat Rusia kesulitan mendapatkan bahan baku penting bagi sektor-sektor vital seperti kesehatan.


Dipertahankan Putin

Putin tak menggubris peringatan mereka. Dua hari kemudian pada 24 Februari 2022, dia memerintahkan invasi ke Ukraina, yang justru tak diinginkan ekonom-ekonomnya, termasuk Nabiullina.

Akan tetapi, Nabiullina akhirnya memutuskan tetap dalam barisan Putin. Dia kemudian sekuat tenaga menghaluskan dampak sanksi Barat terhadap Rusia.

Hasilnya, perekonomian Rusia terhindar dari kehancuran seperti prediksi ekonom-ekonom Barat bahwa PDB Rusia bakal terpangkas sampai 5,5 persen pada 2022.

Kendati Barat telah memutuskan kaitan Rusia dengan SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) yang vital bagi sistem pembayaran internasional, ekonomi Rusia masih bisa bebas dari belenggu, terutama karena Rusia memiliki alternatif SWIFT yang mereka ciptakan pada 2014 ketika Barat menjatuhkan sanksi akibat aneksasi Krimea.

Keputusan Putin mempertahankan Nabiullina yang pro-pasar ternyata tepat, padahal kubu nasionalis penganjur perang Ukraina berusaha menyingkirkan Nabiullina.

Buktinya, ekonomi Rusia hanya berkontraksi kecil saja sepanjang 2022. Semua sektor ekonomi Rusia, termasuk minyak dan gas, boleh terkena sanksi Barat, tapi sektor riil negara ini perlahan beradaptasi dengan keadaan sulit itu.

Tanpa SWIFT mereka tetap bisa mengimpor dan mengekspos. Dengan mudah mereka masih bisa mendapatkan bahan-bahan impor terkena sanksi. Caranya lewat negara ketiga seperti Kyrgyzstan, Armenia, atau Georgia, yang berbatasan dengan Rusia.

"Sejak awal kapitalisme di Rusia, kami mengalami empat krisis besar. Kami sudah terbiasa menghadapi masalah, dan jujur saja, saat ini bukan krisis yang terburuk yang kami hadapi," kata Yuri Saprygin, pengusaha asal kota Kaluga di Rusia tengah, kepada France 24.

Namun, tetap hidupnya sektor riil ini terjadi karena fundamental makroekonomi dibangun kuat-kuat oleh teknokrat seperti Nabiullina yang saat krisis 2014 berhasil mengubah bencana menjadi peluang.

Tahun itu perekonomian Rusia dihantam dua pukulan sekaligus, yakni harga minyak yang turun akibat AS menaikkan produksi minyaknya dan karena Arab Saudi yang menolak memangkas produksi minyak. Pukulan kedua, adalah sanksi Barat itu sendiri.

Akibatnya, pendapatan minyak Rusia terpangkas. Situasi ini mendorong mata uang rubel pun anjlok.

Akan tetapi Nabiullina tak tergoda memakai cadangan devisa untuk meredam gejolak kurs. Dia malah fokus memerangi inflasi, sampai menaikkan suku bunga hingga 17 persen.

Memang menyakitkan, apalagi kemudian ekonomi berkontraksi selama satu setengah tahun. Namun sampai pertengahan 2017, Nabiullina sukses mencapai inflasi rendah sampai di bawah 4 persen, yang merupakan terendah dalam sejarah Rusia pasca-Uni Soviet.

Di bawah arahan Nabiullina, Bank Sentral Rusia menjadi panduan bagi lintas kebijakan dan sekaligus memikat sektor swasta serta investor.


Berani dan berintegritas

Nabiullina juga berani mendisiplinkan industri perbankan sampai-sampai dalam 5 tahun pertama jabatannya, sudah menutup sepertiga dari jumlah bank di Rusia karena transaksi mencurigakan, termasuk pencucian uang.

Keberaniannya itu bersanding erat dengan integritasnya yang tak pernah diragukan oleh siapa pun.

"Dia sangat dipercaya baik oleh pemerintahan Putin maupun Presiden Putin," kata Sofya Donets, ekonom yang pernah bekerja untuk Bank Sentral Rusia selama 12 tahun.

Nabiullina juga mendorong Rusia mengurangi ketergantungan kepada dolar AS sehingga perusahaan-perusahaan dan bank-bank Rusia tidak lagi rentan jika AS membatasi akses dolar.

Dari waktu ke waktu dia mengurangi denominasi dolar AS dalam cadangan devisa Rusia, dengan mendiversifikasi dalam bentuk emas, euro, dan yuan. Pada masanya, hanya 11 persen cadangan devisa Rusia yang disimpan dalam dolar AS.

Ketika dijatuhi sanksi, Rusia masih memiliki cadangan devisa yang cukup dalam bentuk emas dan yuan, yang membuatnya tetap bisa membiaya impor.

Tapi pekan lalu pada 22 Juli, Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga sampai lebih dari 100 basis poin, menjadi 8,5 persen. Ini luar perkiraan para analis keuangan.

Sejumlah kalangan menyebut ongkos perang yang semakin tinggi telah mendorong bank sentral Rusia menaikkan suku bunga yang begitu tinggi. Akan tetapi, Nabiullina sendiri menyatakan langkah ini dilakukan agar target inflasi 4 persen sampai akhir tahun ini bisa tercapai.

Nabiullina menyinggung permintaan dan pasokan ekonomi yang tidak seimbang, terus meningkatnya kredit konsumsi, dan semakin dalamnya kekurangan pasokan tenaga kerja sebagai faktor yang mendorong kenaikan suku bunga.

Memang ada kecenderungan tenaga kerja di Rusia berkurang karena tenaga kerja produktif lari ke luar negeri guna menghindari wajib militer dan sebaliknya oleh kalangan produktif yang terkena kewajiban berperang di Ukraina.

Keadaan itu disebut sejumlah kalangan di Barat terjadi karena ongkos perang yang semakin besar.

Lantas, akankah Nabiullina kali ini mampu menyelamatkan ekonomi Rusia dari overheating akibat pertumbuhan yang dibarengi inflasi tinggi?

Waktu yang akan menjawabnya. Namun, langkah apa pun yang diambil Nabiullina, bisa menentukan arah perang di Ukraina dan bahkan mungkin peruntungan Vladimir Putin.




 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023