Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah tengah mengkaji aturan mengenai uang muka murah kepemilikan rumah bagi pekerja sektor informal atau masyarakat berpenghasilan rendah.

Uang muka (down payment) murah yang diusulkan besarannya 5 persen dari harga jual rumah, sementara cicilan angsuran berbunga tetap 7,25 persen dengan tenor (jangka waktu) kredit hingga 20 tahun, menurut Kementerian Perumahan Rakyat.

"Saat ini jumlah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) di Indonesia mencapai 34,2 juta jiwa. Dari jumlah itu, sebesar 19,4 juta jiwa adalah pekerja mandiri (informal) dan 14,8 juta jiwa adalah pekerja formal (buruh)," kata Deputi Pembiayaan Kemenpera Sri Hartoyo di Jakarta, Selasa.

Dari angka itu ada yang sudah punya dan ada yang belum. MBR ini biasanya tidak bankable untuk mendapatkan KPR. "Ini kita upayakan agar bisa punya rumah," kata Sri Hartoyo dalam diskusi Menggagas Penyaluran KPR Sektor Informal.

Yang menjadi tantangan, katanya, bagaimana menekan harga rumah sehingga cicilan masih bisa dijangkau MBR.

"Dalam scaeme ini masyarakat bisa mengangsur dalam jumlah kecil baik per hari, per minggu hingga per bulan," kata dia.

Misalnya, dengan harga rumah murah di wilayah I seharga Rp88 juta tenor 20 tahun dengan suku bunga tetap selama masa pinjaman 7,25 persen dan uang muka diusulkan sebesar 5 persen atau Rp4,4 juta.

"Maka kreditur bisa melakukan cicilan Rp900 ribu per bulan atau Rp33 ribu per hari. Ini terjangkau," kata dia.

Sedangkan, untuk mengetahui berapa besaran penghasilan calon kreditur, bank perlu meninjau langsung dengan merinci rekam jejak kreditur. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi adanya kredit macet.

"Nanti bank menilai pendapatan rata-rata setahun pekerja informal berapa, layak atau tidak untuk bisa ambil KPR. Ini pembiayaan jangka panjang. Ini untuk masyarakat berpenghasilan rendah di sektor informal. Ini potensinya sangat besar karena masih banyak MBR belum memiliki rumah sendiri," ujarnya.

Di sisi lain, kata dia, perbankan diharapkan lebih aktif menyalurkan KPR kepada pekerja sektor informal atau masyarakat yang berpenghasilan rendah karena mereka masih sulit mendapatkan rumah.

Penyalurannya bisa melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Sekarang, program tersebut memiliki porsi pembiayaan sebanyak 70 persen dari pemerintah dan 30 persen dari bank.

"Mungkin bisa saja porsi pemerintah diperbesar," sebut Sri.

Ia mengatakan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) pada 2013 ini dikucurkan untuk 120.000 unit. Dana yang dialokasikan pemerintah untuk membangun rumah FLPP sebesar Rp7,1 triliun.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Konsumer Bank Tabungan Negara (BTN) Mansyur Syamsuri Nasution mengatakan, sektor informal rentan terhadap pembiayaan. Akan tetapi, BTN berkomitmen untuk fokus pada sektor KPR.

"BTN mata pencahariannya KPR. FLPP pun tidak dibatasi hanya untuk fix income, non fix income pun bisa. Sebab, bagi bank pada dasarnya sektor informal dan formal sama. Kalau informal proxy-nya banyak," kata dia.

Meskipun mendukung pembentukan fasilitas KPR untuk sektor informal, namun pihaknya belum bisa menjamin dapat mencapai target dalam satu tahun pelaksanaan saja.

Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013