Banten (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bersama Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta berhasil menegah pengiriman 430 karton obat tradisional seberat 5 ton tanpa izin edar yang mengandung bahan kimia obat ke Uzbekistan.

“Sudah beberapa lama ini kami melakukan intensitas pengawasan dan penindakan terkait produk, khususnya obat tradisional atau jamu yang berbahan kimia,” kata Kepala BPOM RI Penny K Lukito dalam konferensi pers di Gudang PT Jasa Angkasa Semesta, Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu.

Penny menjelaskan barang tegahan yang bernilai Rp4,1 miliar tersebut berhasil diamankan setelah BPOM melakukan pemetaan wilayah termasuk terhadap salah satu sentra jamu di wilayah Jawa Barat yang melakukan penjualan obat tradisional (OT) bahan kimia obat (BKO).

Selanjutnya, melalui investigasi siber dan kegiatan intelijen diketahui jalur peredaran dan pengiriman OT BKO tersebut ke luar negeri melalui jalur transportasi udara, sehingga dilakukan koordinasi dengan Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Soekarno-Hatta.

Baca juga: Bea Cukai dan BPOM Gagalkan Ekspor Obat Tradisional Tanpa Izin Edar

Dari koordinasi yang dilakukan pada 28 Juli 2023, dilanjutkan dengan upaya penelusuran hingga akhirnya berhasil menegah pengiriman produk OT BKO oleh CV Panca Andri Perkasa yang beralamat di Neglasari, Tangerang.

Obat tradisional mengandung BKO dengan berat keseluruhan 5 ton ini meliputi Montalin sebanyak 200 karton dengan per karton berisi 100 kotak dan Tawon Liar sebanyak 50 karton dengan per karton berisi 200 kotak produk.

Kemudian, Gingseng Kianpi Pil sebanyak 30 karton dengan per karton berisi 48 kotak produk dan Samyunwan sebanyak 150 karton dengan per karton berisi 30 kotak produk.

Pada dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB), produk-produk itu diklaim sebagai nutrition suplement dengan tujuan ekspor Uzbekistan dan akan digunakan sebagai pereda nyeri, pegal linu, dan penggemuk badan.

“Pelaku diketahui telah berulang kali melakukan pengiriman ke luar negeri dengan modus menggunakan nomor izin edar dan HS kode fiktif produk yang terdaftar,” ujar Penny.

Menindaklanjuti temuan itu, BPOM pada 2 Agustus 2023 melakukan operasi penindakan sebagai pengembangan kasus ke sarana lainnya, yaitu ruko JNE, ruko samping ekspedisi di Depok dan JNT Serpong.

Baca juga: Kepala BPOM berharap obat herbal masuk daftar obat rujukan JKN

Pada penindakan tersebut, ditemukan produk Montalin sebanyak 1,14 juta kapsul, Ginseng Kianpi Hijau 884.280 kapsul, Ginseng Kianpi Gold 196.440 kapsul, Samyunwan 432 ribu kapsul dan Tawon Liar 872 ribu kapsul, sehingga total keseluruhan sebanyak 3.524.810 kapsul dengan nilai Rp14,1 miliar.

Produk OT hasil operasi penindakan tersebut merupakan produk yang telah masuk dalam public warning BPOM, karena mengandung BKO yang dilarang ditambahkan dalam produk OT, yaitu parasetamol, natrium diklofenak, kafein, dan siproheptadin.

Penny menjelaskan penambahan BKO parasetamol pada obat tradisional dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan, osteoporosis, gangguan hormon, hepatitis, gagal ginjal, dan kerusakan hati.

Sementara BKO natrium diklofenak dapat menyebabkan mual, diare, dispepsia, reaksi hipersensitifitas, sakit kepala, pusing, vertigo, gangguan pendengaran, dan gangguan pada darah.

Untuk penambahan kafein dalam OT dapat menyebabkan mual, muntah, sakit perut, insomnia, dehidrasi, sakit kepala, pusing, dan detak jantung tidak normal.

Sedangkan BKO siproheptadin dapat menyebabkan pusing, penglihatan kabur, sembelit, mulut kering, halusinasi, jantung berdebar, dan kejang-kejang.

“Penambahan BKO pada OT dalam jangka panjang dapat mengakibatkan adanya efek yang tidak diinginkan berupa penyakit, seperti kerusakan hati, jantung koroner, dan gagal ginjal,” kata Penny.

Baca juga: Pandangan akademisi kedokteran UI terkait pengobatan alternatif

Baca juga: IDI: Penggunaan obat tradisional harus penuhi standar


Terhadap temuan tersebut, BPOM bersama KPU Bea Cukai Soekarno-Hatta telah mengamankan produk dan melakukan proses pro justitia.

Berdasarkan Pasal 196 Jo. Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) Undang–Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pelaku pelanggaran ini terancam pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Sedangkan terhadap kegiatan memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki perizinan berusaha atau nomor izin edar, terancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp1,5 miliar.

Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023