tidak adanya mandatory spending, tidak akan berpengaruh terhadap aspek layanan kesehatan yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Mohammad Syahril mengatakan pencabutan mandatory spending tidak berkaitan dengan skema pembiayaan BPJS Kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diterima peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

"Kalau mandatory spending itu terkait dengan belanja wajib untuk membiayai program kesehatan, seperti pencapaian target stunting, menurunkan kematian ibu dan bayi, mengeliminasi kusta, eliminasi TBC, dan juga penyiapan sarana prasarana," ujar Mohammad Syahril di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, mandatory spending dimaksudkan untuk APBN dan APBD yang harus disediakan oleh pemerintah untuk anggaran kesehatan.

Dengan dihapuskannya mandatory spending, kata Syahril, bukan berarti anggaran itu tidak ada, tapi anggaran tersusun dengan rapi berdasarkan perencanaan yang jelas yang tertuang dalam rencana induk kesehatan.

"Anggaran akan lebih efektif dan efisiensi karena berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan dicapai, karena tujuannya jelas meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi-tingginya. Jadi semua tepat sasaran, tidak buang-buang anggaran," katanya.

Baca juga: Para guru besar soroti hilangnya "mandatory spending" di RUU Kesehatan
Baca juga: Pakar: Mandatory spending kesehatan mutlak dialokasikan demi kepastian


Terkait upaya pendanaan kesehatan perseorangan dalam program jaminan kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan, kata Syahril, tidak terkait dengan mandatory spending.

"Dalam UU Kesehatan tidak ada perubahan pengaturan terkait BPJS Kesehatan. Sehingga informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan," katanya.

Berbeda dengan skema pembiayaan dalam BPJS Kesehatan yang menggunakan sistem asuransi sosial di mana uang yang dikelola merupakan iuran dari para peserta BPJS Kesehatan, kata Syahril menambahkan.

Ia mengatakan, bagi yang mampu akan membayar iurannya sendiri. Bagi pekerja penerima upah atau pekerja formal, maka iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja atau mengiur 1 persen dan pemberi kerja mengiur 4 persen.

Sementara masyarakat yang tidak mampu akan dibayarkan pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

"Tidak adanya mandatory spending, tidak akan berpengaruh terhadap aspek layanan kesehatan yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan seperti yang selama ini sudah berjalan," katanya.

Baca juga: Indef: Penghapusan wajib anggaran kesehatan berdampak pada pembangunan
Baca juga: Menkes: Manfaat kesehatan tidak ditentukan oleh besaran pengeluaran


Sebelumnya, Anggota BPJS Watch Timboel Siregar mengkritik penghapusan mandatory spending kesehatan. Secara yuridis langkah itu bertentangan dengan Tap MPR no.X/ MPR/2001 di Poin 5a huruf 4 yang menugaskan kepada Presiden untuk mengupayakan peningkatan anggaran kesehatan 15 persen dari APBN.

la menilai, penghapusan mandatory spending kesehatan akan berpotensi pada penggunaan dana iuran JKN untuk pembiayaan kesehatan yang seharusnya dibiayai APBN atau APBD.

Selain itu, jumlah peserta PBI yang dibiayai iurannya dari APBN dan APBD akan dikurangi. "Hal ini berarti akan semakin banyak rakyat miskin yang dinonaktifkan dari JKN," ujarnya.

Baca juga: Kemenkes: 10 tahun "Mandatory Spending" tak jamin kesehatan lebih baik
Baca juga: Kemenkes: Persentase "Mandatory Spending" tidak mempunyai dasar ilmiah
Baca juga: Pemerintah ubah haluan anggaran wajib kesehatan jadi berbasis kinerja

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2023