Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan penanggulangan polusi udara di DKI Jakarta membutuhkan kesadaran kolektif masyarakat serta penanganan komprehensif dan sektoral dari pemerintah.

"Dibutuhkan kesadaran kolektif mulai dari masyarakatnya hingga pemangku kebijakan," kata Netty Prasetiyani usai menghadiri Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI Tahun 2023 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Selasa.

Netty mengatakan ada banyak program penanggulangan polusi di DKI Jakarta yang selama ini berjalan baik, mulai dari penggunaan transportasi publik sebagai upaya menurunkan emisi gas buang hingga deteksi dini kualitas udara.

Baca juga: Lindungi anak dari polusi udara, KPAI dukung WFH

Kebijakan itu, menurutnya, juga dapat meminimalisasi penggunaan kendaraan pribadi yang berdampak pada pengurangan polusi udara.

Berdasarkan laporan di situs pemantau kualitas udara AQ Air yang dirilis hari ini, DKI Jakarta menempati peringkat kelima sebagai kota dengan tingkat polusi udara tertinggi di Indonesia.

Tangerang Selatan berada di peringkat pertama kualitas udara dengan kategori tidak sehat, diikuti sejumlah daerah di Kalimantan Barat, Bali, dan Bengkulu.

Penilaian ini dilakukan IQ Air dengan mengukur tingkat PM 2,5 atau partikel udara yang berukuran lebih kecil atau sama dengan 2,5 mikrometer. Mereka melakukan pengukuran di 72 titik yang tersebar di berbagai daerah.

Di tingkat dunia, DKI Jakarta hari ini dinobatkan sebagai kota besar dengan polusi udara paling buruk ketiga. Nomor 1 diduduki Bagdad, Irak dan di bawahnya terdapat Kota Dhaka, Banglades.

Baca juga: Masyarakat diimbau sirami halaman dan jalanan, kurangi polusi udara

Baca juga: Dinkes ajak warga batasi aktivitas luar ruang cegah dampak udara buruk


Sebelumnya, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan layanan di sektor kesehatan telah menempatkan alat sprirometri di setiap fasilitas pelayanan kesehatan Puskesmas untuk menilai fungsi paru-paru masyarakat di sejumlah kawasan perkotaan dengan tingkat polusi yang tinggi.

"Yang kami persiapkan nomor satu adalah deteksinya, jadi di setiap Puskesmas ada," katanya.

Sprirometri dapat mendeteksi sejumlah permasalahan paru-paru yang dipicu udara kotor, seperti asma, tuberkulosis, kanker paru, dan paru obsurpsi kronis.

Menurut Budi, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp10 triliun lebih untuk merespons risiko dari kejadian tersebut.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2023