Jakarta (ANTARA) -
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto menyatakan bahwa rakyat perlu didampingi dalam mengelola mangrove untuk investasi karbon.
 
"Pendampingan masyarakat menjadi kunci, mangrove punya potensi peluang bisnis untuk ekowisata, kalau mangrove diberikan kepada masyarakat, 60 persen untuk dilindungi, dan 40 persen boleh diolah untuk masyarakat, misalnya budi daya atau tambak," kata dia dalam diskusi tata kelola ekosistem karbon biru untuk mencapai Folu Net Sink 2030 di Jakarta, Sabtu.
 
Ia menjelaskan pengelolaan mangrove sebagai hutan sosial oleh masyarakat ini termasuk salah satu upaya untuk mendukung peta jalan Indonesia's Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030, di mana penyerapan atau penyimpanan karbon menjadi tujuan utama untuk mengurangi emisi.
 
"FOLU itu pasti ada hubungannya dengan manusia, dan peran komunitas untuk menjaga mangrove itu penting untuk menentukan apakah energinya akan digunakan secara negatif (misalnya penebangan ilegal, red.) atau positif (energi untuk merestorasi, red.)," ujar dia.

Baca juga: Lindungi lapisan ozon, Pelindo tanam 20 ribu bibit pohon
 
Ia memaparkan saat ini ada 3,31 juta hektare hutan mangrove di Indonesia, dan 422 ribu hektare di antaranya bersinggungan dengan komunitas masyarakat dan yang 115 ribu hektare di antaranya sudah diberikan dalam bentuk perhutanan sosial.
 
"Kalau masyarakat sudah berinvestasi pada hutan mangrove, pasti akan dijaga, dan dari indikator ekologinya juga pasti akan meningkat, karena kandungan karbon yang ada di dalam mangrove itu bisa 6-10 kali lebih besar dari hutan terestrial (hutan di darat)," katanya.
 
Oleh karena itu, ia menyimpulkan ada lima hal terkait isu tata kelola untuk mencapai Folu Net Sink 2030, pertama yakni memanfaatkan modal yang ada (hutan mangrove), kedua, investasi pada masyarakat agar mau mengelola ekosistem mangrove.
 
Ketiga, memperkuat program pendampingan pengelolaan mangrove kepada masyarakat, baik melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat, akademisi, swasta, maupun pemerintah itu sendiri.
 
Keempat, mengatur pola kemitraan, seperti yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2023 tentang Perencanaan Terpadu Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial, yang mengatur bahwa Presiden tidak hanya menugaskan KLHK untuk kehutanan sosial ini, tetapi juga melibatkan lintas sektoral, utamanya gubernur, wali kota, dan bupati.
 
"Jadi kalau ada mangrove kita overlay (petakan) kemudian masuk ke dalam kawasan hutan, dan itu belum ada izin perhutanan sosialnya, maka bisa jemput bola, bentuk kelompok tani hutannya, kemudian beri akses itu dan dampingi supaya dia bisa memberikan kebermanfaatannya," katanya.
 
Tata kelola yang kelima, yakni memperkuat sistem kehutanan sosial yang sudah dibangun, dengan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memastikan bahwa investasi yang sudah dilakukan akan bermanfaat untuk jangka panjang.
 
"Kalau proyek hutan sosial atau FOLU Net Sink ini misalnya hanya berlangsung tiga tahun, tetapi proyek dengan masyarakat itu kan berlangsung selamanya, karena keberlanjutan usaha itu akan memastikan masyarakat mendapatkan manfaat tiga kali lipat, sehingga akan menjaga pula keberlanjutan investasinya," demikian Bambang Supriyanto.

Baca juga: Wisman antusias kunjungi mangrove dan kelelawar di Ponelo Kepulaian
Baca juga: 3.517 mahasiswa baru Udinus tanam mangrove di pantai Semarang
Baca juga: Bank Dunia: Mangrove sangat penting untuk ubah kehidupan masyarakat

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2023