Saat ini konflik industrial pertanahan terbilang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dikhawatirkan pada tahun-tahun ke depan akan lebih tinggi lagi, ini akan mengganggu investasi,"
Jakarta (ANTARA News) - Konflik pertanahan yang terus meningkat dikhawatirkan akan mengganggu iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia secara makro.

"Saat ini konflik industrial pertanahan terbilang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dikhawatirkan pada tahun-tahun ke depan akan lebih tinggi lagi, ini akan mengganggu investasi," kata Anggota Komisi II DPR Zainudin Ahmadi di Jakarta, Selasa.

Untuk 2010, terdata terjadi sebanyak 106 konflik pertanahan, pada 2011 sebanyak 163 konflik dan 2012 meningkat menjadi 198 konflik.

"Perlu ada "role model" (konsep) yang jelas. Termasuk usul Komisi II tentang RUU Pertanahan," tambah Zainudin Ahmadi.

Apabila situasi tersebut tidak dapat ditanggulangi, maka para investor tidak akan menanamkan modalnya baik di bidang perkebunan, pertanian, ataupun pertambangan.

Efek dominonya adalah pendapatan asli daerah (PAD) akan hilang signifikan. Oleh karena itu, pemda harus berani memberikan komitmen kepada investor.

"Dalam jangka panjang akan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi. Karena investor pasti menahan rencana investasi sampai ada jaminan dari pemerintah daerah," ujar dia.

Menurut dia, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai pemangku kepentingan dan perpanjangan pemerintah pusat harus dapat menanggulanginya tentunya proses penanganannya harus disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing.

Sementara itu, Juru bicara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Galih Andreanto mengatakan, untuk 2012, 45 persen konflik pertanahan di bidang perkebunan. 30 persen di sektor pembangunan infrastruktur.

Sedangkan 11 persen di sektor pertambangan dan 10 persen di sektor kehutanan serta tiga persen di sektor pertanian tambak pesisir dan satu persen di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai.

"Jadi konflik terbesar pada 2012 ada di sektor perkebunan. Sektor ini menjadi besar lantaran ketidaktegasan BPN dan campur tangan pemda yang tidak arif dalam menyelesaikan masalah," kata Galih.

(D016/A011)

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013