Kami kalah dengan artis-artis. Kami coba online dan live, tetapi tetap tidak ada yang beli. Jadi tolong diatur yang ketat syarat-syarat berdagang online.
Jakarta (ANTARA) - Siapa yang tak kenal dengan Pasar Tanah Abang, pusat grosir yang selalu menjadi tujuan masyarakat untuk membeli sandang tersebut.  Rupanya, tempat perdagangan ini merupakan salah satu pasar tertua di Jakarta.

Didirikan pada 30 Agustus 1735 oleh tuan tanah yang juga merupakan arsitek, Yustinus Vinck atas izin Gubernur-Jenderal Hindia Belanda Abraham Patramini, Pasar Tanah Abang pada mulanya hanya mendapat izin berjualan tekstil serta barang kelontong setiap hari Sabtu, sehingga sempat dinamakan Pasar Sabtu.

Pada tahun 1740, terjadi pembantaian orang-orang Tionghoa serta perusakan harta benda yang dikenal sebagai peristiwa Geger Pecinan (Chineezenmoord). Dalam peristiwa ini, Pasar Tanah Abang dibakar.

Usai tragedi tersebut, Pasar Tanah Abang berangsur pulih dan kembali dibangun pada tahun 1881. Sejak saat itu, waktu operasional Pasar Tanah Abang pun bertambah menjadi dua kali seminggu, yakni Rabu dan Sabtu.

Pasar Tanah Abang semakin berkembang pesat usai peresmian Stasiun Tanah Abang pada tahun 1899. Setelah pembangunan stasiun, Pasar Tanah Abang akhirnya beroperasi setiap hari.

Saat pandemi COVID-19 melanda, Pasar Tanah Abang Blok A, B, dan F sempat ditutup sementara selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada tahun 2021.

Setelah pandemi berakhir, kondisi pusat grosir terbesar di Asia Tenggara ini masih belum kembali normal meski sempat ramai pada momen Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 serta Lebaran 2023.

Pengelola Pasar Tanah Abang Blok A Hery Supriyatna mengungkapkan sepinya pembeli usai momen Lebaran biasanya memang merupakan suatu siklus. Namun berdasarkan keluhan pedagang, kondisi sepi yang dirasakan Tanah Abang saat ini berbeda dengan siklus sebelumnya.

Beberapa pedagang menyampaikan sepinya Tanah Abang kini merupakan imbas dari maraknya belanja daring secara langsung alias online live shopping.

Yang jadi masalah, menurut dia, harga barang yang dijual di platform daring jauh lebih rendah karena kebanyakan barang impor, sangat jauh dibandingkan harga barang yang dibeli di Pasar Tanah Abang.

Saat mengunjungi pada akhir pekan, Pasar Tanah Abang terlihat sepi dan hanya segelintir orang yang berlalu lalang melihat barang dagangan para penjual di sana.

Bahkan, terdengar beberapa teriakan pedagang yang menyerukan untuk menutup salah satu social commerce di Indonesia. Agresivitas social commerce belakangan ini memang bikin kalang kabut banyak pedagang konvensional, termasuk para saudagar di Pasar Tanah Abang.

"Tutup dong TikTok Shop, tutup saja, tutup. Bagaimana ini, nggak laku terus barang," ujar Markonah (48) sambil merapikan barang dagangannya.

Saat dihampiri, perempuan paruh baya tersebut menjual tas dan pakaian di Blok A, blok yang biasanya merupakan bagian paling ramai di antara blok lainnya di Pasar Tanah Abang karena terletak paling depan.

Markonah mengaku beberapa bulan ini dagangannya sepi pembeli, salah satunya karena maraknya penjualan daring yang mulai muncul saat COVID-19 melanda. Jika sebelum pandemi barang dagangannya bisa laku 20-30 buah per hari, kini terkadang dalam satu hari tidak sampai lima buah tas yang laku terjual.

Bukan tak mau berjualan secara daring, rupanya perempuan yang telah memiliki tiga anak dan empat cucu ini mengaku tidak mengerti cara berjualan secara daring. Tak ada pula orang yang bisa mengajarkan dirinya untuk berjualan di platform daring.
Para pedagang di Pasar Tanah Abang menyerukan penghapusan "social commerce" yang menjadi salah satu penyebab sepinya Pasar Tanah Abang, Jakarta, Sabtu (23/09/2023). (
ANTARA/Agatha Olivia Victoria


Pengaturan platform

Jeritan para pedagang di Pasar Tanah Abang itu pun kini menjadi perhatian, terutama berbagai permintaan untuk menutup salah satu platform social commerce. Adapun social commerce merupakan platform media sosial yang menjual jasa atau produk, sehingga berbeda dengan e-commerce yang merupakan platform khusus untuk berjualan.

Alih-alih menutup platform social commerce, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan agar platform social commerce bisa diatur oleh pemerintah agar UMKM tidak terancam.

Poin pengaturan social commerce seperti pemisahan antara platform media sosial dan e-commerce, pelarangan predatory pricing atau diskon berlebihan, hingga pengaturan algoritma diperlukan dalam aturan tersebut.

Selain itu, kebijakan afirmasi untuk para pedagang di Tanah Abang turut diperlukan, misalnya dengan diskon sewa tempat, subsidi tagihan listrik, hingga pemberian pinjaman bunga nol persen.

Melihat keresahan pedagang di Pasar Tanah Abang maupun UMKM lainnya, Kementerian Perdagangan akan mengatur perizinan yang berbeda antara platform e-commerce dan social commerce melalui revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020, sebagai bentuk perlindungan kepada produk UMKM.

"Jadi, UMKM dan ritel modern bisa sama-sama berkembang. Apalagi sekarang penjualan langsung saja sudah tidak cukup dan membutuhkan penjualan daring agar bisa berkembang," kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di Bandar Lampung pada pertengahan pekan lalu.

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta, Perumda Pasar Jaya, sebagai pengelola Pasar Tanah Abang pun telah gencar melakukan sosialisasi digitalisasi pasar agar para pedagang bisa adaptif dengan penjualan secara daring.

Pasalnya, para pedagang sebenarnya memiliki keuntungan lebih jika bisa mengikuti perkembangan teknologi digital saat ini, yakni memiliki dua pasar yang meliputi konsumen yang datang langsung ke pasar dan pembeli secara daring.

Meski pada akhirnya platform social commerce akan diatur, maraknya penjualan secara daring yang membuat beberapa UMKM kalah saing mau tidak mau akan mewajibkan para pedagang beradaptasi dengan digitalisasi. Jika tidak, terdapat kemungkinan besar UMKM akan tumbang secara perlahan.

Belum lagi terdapat masalah lain pada UMKM yang telah mengadopsi digitalisasi, yakni persaingan dengan para pemengaruh (influencer) ataupun artis yang mempromosikan produk luar negeri.

Joselin (33), salah seorang pedagang pakaian pesta pernikahan di Pasar Tanah Abang, mengaku dirinya turut menawarkan dan menjual barang dagangannya secara daring, namun tetap tidak bisa bersaing dengan para pemengaruh yang berjualan barang impor.

"Kami kalah dengan artis-artis. Kami coba online dan live, tetapi tetap tidak ada yang beli. Jadi tolong diatur yang ketat syarat-syarat berdagang online,” kata Joselin.

Sekretaris Komisi B DPRD DKI Jakarta Wa Ode Herlina mengaku cukup banyak mendapatkan keluhan mengenai sepinya pembeli di Pasar Tanah Abang yang dipicu maraknya aktivitas jual beli di platform social commerce. Aktivitas ini melibatkan banyak artis dan pegiat media sosial.

Promosi oleh artis atau pemengaruh menyebabkan pembeli lebih berminat dengan barang tersebut dibandingkan dengan barang dagangan UMKM Pasar Tanah Abang.

Dampak lain dari sepinya pembeli di Tanah Abang pun tak hanya dialami pedagang, tetapi dirasakan pula oleh sektor lain, misalnya, para porter atau jasa angkut barang.

Para jasa angkut barang tersebut biasanya bisa memberikan jasa hingga 20 kali pengangkutan barang. Kini, sama sekali tak mendapatkan uang dari jasa pengangkutan barang dalam satu hari pun sudah menjadi kebiasaan karena sepinya pembeli.
Beberapa pedagang di Pasar Tanah Abang mulai mencoba peruntungan dengan menjual barang dagangan secara daring, Jakarta, Senin (12/09/2023). ANTARA/Agatha Olivia Victoria


Solusi alternatif

Dari sisi pembeli, Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet ​​​​​​menuturkan daya beli masyarakat bisa ditingkatkan sebagai solusi alternatif dalam mendorong agar Pasar Tanah Abang kembali ramai.

Langkah tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah salah satunya dengan memberikan bantuan sosial tertentu yang ditujukan untuk pembelian barang di Pasar Tanah Abang. Apabila masyarakat mendapatkan tambahan dana, maka peluang untuk membeli barang di Pasar Tanah Abang menjadi lebih besar.

Selain itu, perlu diperhatikan pula faktor-faktor yang bisa mempengaruhi konsumsi masyarakat, termasuk harga-harga kebutuhan pokok.

Ketika harga kebutuhan pokok meningkat, masyarakat terutama kelas bawah tentu akan melakukan penyesuaian dan mengedepankan kebutuhan primer seperti komoditas makanan dibandingkan belanja barang sekunder seperti pakaian, yang mempengaruhi kunjungan di Pasar Tanah Abang.

Solusi alternatif lainnya untuk mempertahankan Pasar Tanah Abang yang memiliki sejarah panjang, yaitu dengan menjadikan pasar tersebut sebagai kawasan budaya seperti Kota Tua maupun pasar modern seperti Pasar Santa.

Meski tak lagi memiliki bangunan tua seperti Kota Tua, namun Sejarawan dan Budayawan Asep Kambali menyebutkan cerita sejarah Pasar Tanah Abang sebagai salah satu pasar tertua di Jakarta yang masih bertahan bisa menjadi pariwisata unik tersendiri.

Salah satu blok di Pasar Tanah Abang bisa dijadikan museum yang menceritakan kisah pasar tersebut maupun cerita mengenai kawasan Tanah Abang yang memiliki sejarah panjang.

Pilihan lain yakni Pasar Tanah Abang bisa diubah menjadi seperti Pasar Santa yang kini menjadi salah satu pilihan tempat nongkrong anak-anak muda.

Dengan berbagai solusi ini, nantinya terdapat kemungkinan bahwa Pasar Tanah Abang tak bisa lagi hanya mengandalkan penjualan grosir.

Tetapi apapun nantinya bentuk Pasar Tanah Abang, yang terpenting adalah kemampuan beradaptasi agar pasar tertua di Jakarta ini tidak mati begitu saja.

Kendati demikian, bukan hanya Pemerintah, pengelola, maupun pedagang yang harus mempertahankan Pasar Tanah Abang sebagai salah satu pasar tertua di Ibu Kota.

Sebagai konsumen, pun harus bersama-sama menjaga Pasar Tanah Abang maupun pasar tradisional lain di Indonesia dengan mencintai produk dalam negeri dan tidak sungkan berbelanja di pasar tradisional.










 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2023