Jakarta (ANTARA) - Pendiri Klinik Digital Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia (UI) Dr Devie Rahmawati menuturkan bahwa pemberantasan hoaks menjelang pemilihan umum (pemilu) tidak dapat dilakukan secara instan, namun harus melalui kurikulum pendidikan jangka panjang yang sistematis.

“Mengapa hal ini menjadi penting? Karena jika sudah masuk kurikulum pendidikan, berarti baik siswa di Aceh maupun di Papua akan mendapat ajaran yang sama, sehingga semuanya memiliki mental dan modal yang sama untuk menghadapi hoaks,” ujar Devie saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.

Karena penanganan hoaks ini dilakukan sektor sistem pendidikan yang sistematis, ia menyebut bahwa hasilnya baru dapat terlihat 20 atau 30 tahun lagi. Walaupun begitu, ia mengatakan bahwa upaya ini tetap penting dilakukan agar dapat menciptakan resistansi di masyarakat terhadap berita-berita bohong.

Devie mengatakan bahwa walaupun Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) telah membentuk satuan tugas khusus maupun berbagai gerakan masyarakat, seperti Gerakan Makin Cakap Digital, Gerakan Nasional Literasi Digital (Siberkreasi), dan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), partisipasi masyarakat tetap diperlukan untuk memberantas hoaks.

Baca juga: Kemenkominfo siap tangkal hoaks hingga radikalisme jelang Pemilu 2024

Hal ini dikarenakan informasi bohong menyebar dengan sangat cepat dibandingkan upaya untuk membuat narasi penangkal informasi bohong tersebut. Menurut penelitian Massachusetts Institute of Technology (MIT), suatu hoaks dapat menyebar dalam dua menit.

Dosen vokasi di Universitas Indonesia tersebut menyayangkan kebiasaan masyarakat yang mengutamakan kecepatan dalam menyebarkan informasi, bukan keakuratannya, sehingga kesalahan informasi mudah terjadi dan meluas.

Ia menyatakan bahwa banyak orang yang tidak sadar bahwa mereka telah menyebarkan berita bohong, yang menurut sebuah penelitian internasional bukan disebabkan karena mereka berniat buruk, namun justru mereka ingin dianggap sebagai “pahlawan” yang telah memberikan pengetahuan kepada orang lain.

“Jadi, sebenarnya niatnya baik, tapi sayangnya yang mereka sampaikan ternyata hoaks,” ucapnya.

Sementara itu, lanjut Devie, diperlukan waktu yang lebih lama untuk melakukan verifikasi terhadap informasi yang disampaikan sehingga seringkali countermeasure atau tindakan penanggulangan terlambat dilakukan.

Oleh karena itu, ia menganggap penanganan hoaks sebagai pekerjaan rumah dan perjuangan panjang bagi seluruh pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.

“Jadi, memang kita perlu bersabar untuk memastikan tidak ada lagi berita bohong yang tersebar,” katanya.

Baca juga: ANTARA berkomitmen jadi garda terdepan tangkal hoaks

Baca juga: Wakil Ketua MPR: Literasi tangkal hoaks pada tahun pemilu penting

Baca juga: Akademisi serukan tangkal hoaks obat dengan edukasi di media sosial

Pewarta: Uyu Septiyati Liman
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023