Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa, Christina mengatakan lemahnya pengawasan itu dikarenakan temuan pengungsi Rohingya memasuki wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan membawa KTP palsu, yang diduga dibuat di Kota Medan.
"Ini sangat disesalkan, dan juga memalukan. Bukti pengawasan di tempat penampungan sangat lemah. Karena tidak semestinya mereka keluar masuk, sampai ke NTT segala, membawa KTP Medan pula," katanya menegaskan.
Lanjut dia, Hal tersebut menandakan pengawasan terhadap pengungsi sangat lemah, termasuk kinerja birokrasi pemerintahan yang mengeluarkan kartu tanda penduduk (KTP).
Christina mendesak kasus itu diusut tuntas dan menindak tegas semua oknum yang terlibat memberikan KTP kepada warga negara asing.
Menurut dia, kasus itu harus menjadi perhatian serius pemerintah, tidak cukup imbauan atau penyesalan karena sudah kecolongan. Tetapi menjadi evaluasi serius karena bisa memiliki ekses lanjutan yang lebih rumit.
"Kalau pengawasan lemah, KTP dipermainkan, lalu itu menjadi modal mereka bekerja di Indonesia, sementara rakyat kita masih banyak yang menganggur. Dari delapan orang yang ketahuan saat ini, sangat mungkin ada yang lain. Ini harus diusut tuntas," katanya.
Dia berharap, pemerintah tegas untuk tidak lagi menerima warga Rohingnya serta melakukan pendataan berapa sebenarnya yang saat ini ada di Indonesia dan bagaimana solusinya.
"Maka itu patroli laut harus efektif dilakukan, jika ditemukan ada kapal yang mau masuk tinggal diarahkan untuk melanjutkan perjalanan dan bukan masuk ke Indonesia," harapnya.
Diketahui, tim pengawasan orang asing Polres Belu, Nusa Tenggara Timur menangkap delapan pengungsi Rohingya di Desa Takirin, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Para pengungsi ini sebelumnya berangkat dari Bangladesh menuju Malaysia. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Medan dan berakhir ke Nusa Tenggara Timur. Saat diperiksa petugas, mereka mengaku telah tinggal di NTT selama dua pekan.
Tak hanya fasih berbahasa Indonesia para pengungsi ini memiliki KTP dengan alamat di sejumlah kabupaten di NTT. KTP itu mereka buat di Medan dengan membayar Rp300 ribu setiap orang. Mereka mengaku memasuki Indonesia untuk mencari pekerjaan.
Baca juga: Anggota Komisi I DPR dukung upaya Kemlu evakuasi WNI di Palestina
Baca juga: DPR RI nilai "internationaltrust"bukti diplomasi RI di jalur benar
Baca juga: Wapres: Indonesia pelajari dugaan perdagangan orang dalam isu Rohingya
Baca juga: Jaringan penyelundupan Rohingya ke Aceh tersebar di 3 provinsi
Pewarta: Fauzi
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2023