Jakarta (ANTARA) - Transformasi sangat diperlukan untuk mewujudkan sebuah perubahan menjadi keadaan yang sama sekali baru. Dari keadaan yang sebelumnya menjadi baru dan lebih baik.

Transformasi inilah yang kini sangat diperlukan bagi sistem pangan di Indonesia sebagai jantung kehidupan masyarakat di tanah air.

Ini menjadi upaya dan metode yang digunakan untuk menghasilkan, mengolah, dan mendistribusikan makanan kepada populasi masyarakat.

Keberlanjutan sistem pangan menjadi semakin penting karena pertumbuhan populasi yang cepat, perubahan iklim, dan degradasi lingkungan.

Soal transformasi sistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan memang kini menjadi perhatian bangsa dan negara di seluruh dunia.

Indonesia sendiri telah menyampaikan strategi transformasi sistem pangan di The United Nations Food System Summit (UNFSS) +2 Stocktaking Moment 2023 di Food and Agriculture Organization Headquarters, Roma, Italia.

Dalam pertemuan yang dikoordinasikan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Roma serta didukung Pemerintah Italia tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menjelaskan pandangan Indonesia terhadap peran transformasi sistem pangan global untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs).

Menurut Kepala Bappenas dalam mengembangkan transformasi sistem pangan, Indonesia menekankan pada tiga hal.

Pertama, Indonesia berkomitmen untuk mengubah sistem pangan di tingkat nasional dan daerah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah mengamanatkan bangsa ini untuk mengubah sistem pangan menjadi lebih inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

Sebagai negara kepulauan terbesar dan beragam, melokalkan sistem pangan berdasarkan kekayaan keanekaragaman hayati dan sosial budaya lokal di negeri ini, adalah salah satu cara untuk mengubah sistem pangan di tanah air.

Dalam hal ini, negara ini lebih mempertimbangkan transformasi sistem pangan pertanian dan nexus of Food, Energy, Water, sebagai bagian penting dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.

Kedua, memperkuat sektor pertanian dan dukungan terhadap petani skala kecil merupakan hal yang krusial dalam transformasi sistem pangan di Indonesia.

Petani skala kecil memiliki peran penting dalam sistem pangan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia mengambil peran melalui penciptaan enabling environment, yang mendukung petani skala kecil.

Membengkaknya jumlah petani gurem atau petani berlahan sempit dengan kepemilikan lahan rata-rata 0,25 hektare dalam 10 tahun terakhir (2013-2023), menjunjukkan petani yang menggarap lahan pertanian berskala kecil makin meningkat.

Salah satu penyebabnya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian menjadi semakin meluas.

Dengan bahasa lain, dapat juga disampaikan, Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan petani gurem dalam 10 tahun terakhir.

Hal ini, mengindikasikan lahan pertanian untuk bercocok tanam semakin sempit di berbagai wilayah Indonesia.

Dalam Sensus Pertanian 2023 tercatat, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem sebanyak 16,89 juta, naik 18,49 persen dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang hanya sebanyak 14,25 juta.

Ketiga, perlunya kemitraan multi-pihak yang lebih kuat dan inklusif dalam transformasi sistem pangan.

Dalam hal ini, Indonesia telah melaksanakan rangkaian dialog dan kemitraan yang bersifat multi-pihak, antara lain dalam perumusan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi.

Selain itu, dana alokasi khusus juga merupakan instrumen untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam membangun sistem pangan lokal mereka.

Di samping itu, Kepala Bappenas juga menekankan bahwa dunia harus meningkatkan kerja sama dan kolaborasi, semua level, demi perkembangan sistem pertanian pangan.

Bersama-sama, bangsa ini harus melipatgandakan upaya bersama untuk mencapai target TPB/SDGs, khususnya dalam mengakhiri kelaparan dan kemiskinan global, dengan membangun sistem pangan yang lebih berkelanjutan, adil, dan tangguh.


Swasembada pangan

Sistem pangan yang ingin diwujudkan, setidaknya harus berbasis pada kemampuan bangsa ini dalam meraih swasembada pangan yang berkelanjutan.

Swasembada pangan diupayakan tidak hanya dikumandangkan sebagai bahan pidato para petinggi negeri, tapi juga mesti dapat dibuktikan dalam kehidupan nyata di lapangan. Sebab swasembada pangan berkualitas, salah satu penentu kokohnya ketahanan pangan.

Di negara ini, ketahanan pangan merupakan kondisi tercukupinya pangan untuk kehidupan yang dicirikan oleh ketersediaan bahan pangan, kemudahan menjangkau pangan dan termanfaatkannya pangan sebagai bahan konsumsi masyarakat.

Kalau ketahanan pangan kuat, maka boleh saja menyatakan selaku bangsa yang telah mampu mandiri pangan.

Bermodalkan swasembada pangan, ketahanan pangan dan kemandirian pangan, maka tidak salah bila pada saatnya nanti menyatakan Indonesia tercatat sebagai bangsa yang telah berdaulat di bidang pangan.

Sebab, kedaulatan pangan sendiri memiliki makna sebagai hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Atas gambaran yang demikian, strategi transformasi sistem pangan yang inklusif dan berkelanjutan, tentu tidak boleh lepas kaitannya dengan pemaknaan ke empat mazhab pembangunan pangan tersebut.

Pemahamannya akan makin jelas dan terukur, jika hal itu dikaitkan dengan konsep dasar dari transformasi pangan itu sendiri.

Food sustainable atau sistem pangan berkelanjutan di Indonesia merupakan langkah dan usaha untuk mengoptimalkan asupan pangan dari berbagai sisi.

Bukan hanya soal jumlah, pangan berkelanjutan juga fokus menjaga kelestarian lingkungan, menyediakan akses lebih luas, juga makanan dengan harga terjangkau oleh segenap anak bangsa.


*) Penulis adalah Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.

Copyright © ANTARA 2024