Jakarta (ANTARA) - Berdasarkan proyeksi penduduk Indonesia 2015-2045, berbasis data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 2025, periode bonus demografi di Indonesia berlangsung mulai 2012 hingga 2036.

Sementara berdasar perhitungan dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional  (Bappenas), bonus demografi bisa lebih lama, yakni tahun 2041.

Perhitungan terakhir ini berdasarkan proyeksi penduduk berbasis data Sensus Penduduk 2020. Hasil proyeksi ini menggantikan data proyeksi penduduk 2015-2045. Artinya, periode bonus demografi lima tahun lebih lama dibanding proyeksi sebelumnya (berakhir 2036).

Dengan sekitar 17 tahun waktu tersisa bangsa ini harus menyiapkan generasi baru, terutama generasi Z dan generasi Alpha, agar menjadi generasi yang berkualitas dan kompetitif pada Tahun Emas Indonesia 2045.

Seberapa penting periode bonus demografi? Negara yang berada dalam periode bonus demografi, memiliki penduduk usia produktif berlimpah, sehingga membuka ruang meraih pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Bonus demografi adalah modal penting bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.


Generasi sehat

Bonus demografi muncul ketika mayoritas penduduk dalam suatu masyarakat berada dalam kelompok usia produktif, yaitu rentang usia 18 hingga 64 tahun.

Potensi ini dapat memberikan manfaat besar dalam hal tenaga kerja, namun, keberhasilannya harus senantiasa disertai kesehatan prima dan tingkat kecerdasan baik.

Mengapa hal ini penting? Karena ketika kelompok usia produktif memiliki kesehatan dan kecerdasan yang optimal, dampak positifnya akan terasa dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta indeks pembangunan manusia di suatu negara.

Sebaliknya, jika kelompok usia produktif mengalami masalah kesehatan dan rendah kecerdasannya, hal ini dapat berujung pada bencana. Tidak hanya berdampak pada produktivitas, tetapi juga menambah beban negara.

Menghadapi fenomena ini, semua sektor dan lapisan masyarakat perlu aktif berkontribusi dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Tidak ada waktu untuk tunda-tunda atau mengabaikan situasi yang ada.

Keberhasilan pembangunan kesehatan dewasa ini, akan sangat menentukan keberhasilan kita dalam memanfaatkan bonus demografi secara optimal.

Berbagai program pembangunan kesehatan yang diinisiasi dan diimplementasikan oleh pemerintah dan segenap pemangku kepentingan lainnya, diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi upaya mengoptimalisasi periode bonus demografi yang sedang berjalan.

Terwujudnya keluarga sehat yang ditopang oleh kecukupan nutrisi yang memadai, akan memberikan fondasi yang kokoh bagi terwujudkan kualitas sumber daya manusia yang dapat menjawab tantangan dalam periode bonus demografi.

Keluarga sehat dengan nutrisi yang baik memainkan peran fundamental, karena berfungsi sebagai fondasi bagi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan lainnya.

Dalam pengertian ini, investasi gizi dalam pembangunan, memainkan peran yang sangat krusial. Betapa pentingnya investasi gizi untuk pembangunan manusia, tercermin dari penelitian yang dilakukan panel ahli yang terdiri atas para ekonom terkemuka dunia, dan dituangkan dalam The Copenhagen Consensus 2012.

Panel ahli tersebut mengidentifikasi bahwa gizi dapat membantu memutus lingkaran kemiskinan dan meningkatkan PDB negara 2 hingga 3 persen per tahun.

Dengan menginvestasi 1 dolar AS pada gizi dapat memberikan hasil 30 dolar AS, dalam bentuk peningkatan kesehatan, pendidikan, dan produktivitas ekonomi.

Jelas sudah, bahwa tanpa individu-individu yang sehat dengan nutrisi yang mencukupi, tidak mungkin bangsa ini dapat mencapai tingkat pendidikan yang tinggi.

Keluarga sehat dengan nutrisi yang mencukupi merupakan pra-kondisi untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya, karena tidak mungkin kita dapat merealisasikan sumber daya manusia yang kompetitif tanpa dasar-dasar tersebut.

Mengingat urgensi pembangunan kesehatan dalam menentukan keberhasilan memanfaatkan bonus demografi, semua pemangku kepentingan terkait tidak boleh kehilangan momentum pada saat-saat ini untuk mengakselerasi peningkatan gizi masyarakat seoptimal mungkin.

Hilangnya momentum untuk mengakselerasi pencapaian dalam bidang nutrisi tersebut pada saat sekarang ini akan menyebabkan ketidakmampuan negara ini dalam memanfaatkan bonus demografi secara optimal pada waktunya.

Untuk mencapai tujuan keluarga sehat dan memiliki kecukupan gizi serta memiliki nilai produktif di masa depan, maka kebijakan dan program pembangunan kesehatan harus bertumpu pada pendekatan preventif dan promotif sebagai pilar utama.

Keberhasilan mengimplementasikan pendekatan preventif dan promotif secara tepat, akan menyelamatkan sumber daya keuangan yang sangat besar, sehingga sumber daya tersebut dapat dialihkan kepada tujuan-tujuan yang lebih produktif.

Pembangunan gizi yang berhasil bertumpu pada ketersediaan dan ketahanan pangan, serta akses ke sumber pangan tersebut secara berkelanjutan oleh masyarakat.

Tantangan ke depan dalam kerangka pembangunan gizi masyarakat, khususnya dalam upaya memanfaatkan periode bonus demografi secara optimal, masih butuh ikhtiar lebih keras.

Ini merupakan menjadi tugas bersama semua pihak, baik pemerintah, masyarakat madani, sektor swasta, maupun masyarakat sendiri untuk bekerja keras memastikan agar periode bonus demografi tidak berlalu begitu saja.

Ketahanan pangan

Untuk memastikan asupan gizi dan ketahanan pangan bagi generasi baru, Indonesia membutuhkan strategi atau terobosan yakni menjadikan beras tidak lagi sebagai bahan pangan utama sumber karbohidrat.

Dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang semakin maju dan sejahtera, perlu strategi pangan berdasarkan kebutuhan gizi generasi baru.

Perlu disiapkan peta jalan yang mengelompokkan kebutuhan penduduk berdasarkan usia, jender (ibu hamil dan menyusui), profesi, aktivitas, daya beli, hingga kondisi geografis.

Dengan bantuan teknologi informasi, bisa dipetakan terkait kebutuhan karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral lainnya.

Keinginan menghapus tengkes, mengejar peluang bonus demografi, dan menjadi negara maju pada 2045, harus dimulai dengan pemenuhan pangan bergizi.

Beras tidak perlu dipaksakan menjadi satu-satunya komoditas pemenuhan kebutuhan karbohidrat nasional, karena akan sulit terpenuhi, sebagaimana yang disaksikan hari-hari terakhir ini.

Dengan keanekaragaman hayati di Tanah Air, tersedia banyak sumber karbohidrat (selain beras), juga sumber protein, vitamin, dan mineral.

Pembenahan bahan pangan nonpadi sudah harus dimulai dari aspek agronomi, pengolahan dan hilirisasi, distribusi, hingga penyajian.

Kenaikan harga beras saat ini bisa dijadikan momentum untuk mengembangkan diversifikasi pangan lokal sumber karbohidrat.

Alternatif sumber karbohidrat antara lain singkong, jagung, ubi jalar, sorgum, talas, kentang, sukun dan pisang. Semua tanaman ini relatif mudah tumbuh dan dibudidayakan di negeri ini.

Masalah terbesarnya adalah soal kultur, masyarakat di Indonesia yang sudah terbiasa mengonsumsi beras, atau nasi tiga kali sehari.

Padahal diversifikasi sumber karbohidrat, juga penting bagi tubuh manusia. Mengandalkan asupan karbohidrat pada satu sumber saja, dalam jangka panjang dapat berisiko menyebabkan penyakit degeneratif, salah satunya diabetes.

Selama beras masih memegang hegemoni mutlak dalam asupan karbohidrat masyarakat, selama itu pula komoditas tersebut akan rentan memunculkan turbulensi harga. Terlebih data memperlihatkan, produksi beras nasional sudah kuwalahan mengimbangi kebutuhan yang terus meningkat.

Selain tekanan kebutuhan domestik, sumber pangan karbohidrat dan protein nabati saat ini juga semakin rentan terdampak perubahan iklim.

Berdasar laporan khusus Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan iklim (IPCC) terkait Perubahan Iklim dan Lahan menyebutkan, perubahan iklim telah memengaruhi ketahanan pangan melalui peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan, dan frekuensi kejadian ekstrem yang lebih kering.

Produksi buah-buahan dan sayur-sayuran, yang merupakan komponen kunci pola makan sehat, juga rentan terhadap perubahan iklim pada suhu yang memanas.

Di tengah situasi ini, Indonesia perlu memilih tanaman yang memiliki daya tahan kuat terhadap perubahan iklim. Untuk karbohidrat, tanaman sorgum bisa jadi salah satu pilihan.

Dari aspek nutrisi, sorgum memiliki kadar asam amino esensial dan mineral yang jauh lebih tinggi untuk kesehatan dibandingkan gandum utuh, serta biji-bijian sumber karbohidrat yang lain.

Di tengah krisis iklim seperti sekarang, maka masyarakat harus kembali ke ragam pangan lokal, terutama sumber umbi-umbian, jangan lagi terlalu mengandalkan beras.

Masyarakat harus kembali ke ragam pangan lokal, terutama sumber pangan dari umbi-umbian dan sagu-saguan.

Sedikit catatan tentang sagu, tanaman endemik Indonesia ini juga memiliki fungsi lingkungan yang tinggi. Sagu merupakan sumber pangan yang bisa tumbuh di rawa-rawa dan lahan gambut, sehingga memiliki potensi menyerap karbon.


*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.

Copyright © ANTARA 2024