Jakarta (ANTARA) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
mendesak DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah diajukan sejak 2009.

"Jadi, sekarang ini prosesnya (RUU) sudah ada di meja pimpinan DPR," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMAN, Rukka Sombolinggi di sela-sela sidang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Pulogebang, Jakarta Timur, Kamis.

Seharusnya, kata dia, di sisa masa kerja anggota DPR periode 2019-2024 ini bisa mengesahkan RUU tersebut.

Menurut dia, RUU Masyarakat Adat sangat diperlukan agar ada payung hukum yang jelas dan negara dapat mengakui serta melindungi masyarakat adat.

"Ketiadaan payung hukum yang mengakui dan melindungi masyarakat adat, telah berdampak buruk bagi komunitas-komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara," ujarnya.

Baca juga: Sekjen AMAN dorong DPR sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat

AMAN mencatat sejak tahun 2014 telah terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat seluas 8,4 juta hektare dan 678 masyarakat adat dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adat.

Karena itu, Rukka berharap pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat di sisa masa kerjanya, yakni Oktober 2024.

"Kalau DPR serius mestinya bisa diselesaikan dan disahkan. Namun, persoalannya di DPR ada dua fraksi yang menolak RUU itu secara terang-terangan, yakni PDIP dan Golkar," tuturnya.

​​​​​​​Menurut dia, RUU Masyarakat Adat lahir dari tuntutan masyarakat adat di perkampungan. Mulai didiskusikan di tingkat kampung, kongres AMAN, pertemuan masyarakat adat, masyarakat sipil dan akademisi.

Baca juga: Sekjen AMAN tegaskan pentingnya peran perempuan dalam masyarakat adat
 
Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan saat menjadi saksi dalam sidang gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Pulogebang, Jakarta Timur, Kamis (14/3/2024). ANTARA/Syaiful Hakim

RUU Masyarakat Adat ini paling banyak dan paling panjang dibicarakan di publik. "Namun, saat ini masih tertahan di pimpinan DPR," kata Rukka.

Dia menuturkan bahwa tanah-tanah adat atau tanah ulayat itu memang ada di negeri ini, namun bisa disebut adat dan diakui serta dihormati bila ada UU dan peraturan pemerintah.

"Itu masalahnya sehingga ketika ada kepentingan untuk merampas wilayah adat untuk perusahaan dan untuk pembangunan, maka dianggap orang itu tak berhak karena masyarakat adat tidak ada di situ karena belum diakui," katanya.

Menurut dia, hal itu salah satu masalah besar bagi negeri ini. Karena itu, hingga saat ini AMAN menuntut kepada pemerintah dan DPR harus ada kepastian hukum bagi masyarakat adat.

Baca juga: Sekjen AMAN sebut perempuan adat masih alami diskriminasi

Persoalan ini bukan hanya persoalan masyarakat adat tetapi persoalan masyarakat Indonesia. ​​​​​​​"Harus ada cara negara mendaftarkan atau registrasi masyarakat adat agar bisa keluar bagi persoalan ini," katanya.

Gugatan tersebut diajukan agar pemerintah dan DPR di PTUN Jakarta itu segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Sidang gugatan itu saat ini dalam tahapan pemeriksaan saksi-saksi dari komunitas masyarakat adat.

Mantan Sekjen AMAN Abdon Nababan yang menjadi salah satu saksi di persidangan PTUN Jakarta menyebutkan persoalan (RUU) sebenarnya tidak terlalu sulit karena substansinya sudah selesai.

"Sudah ada naskah akademiknya dan bisa segera disahkan, bila pimpinan DPR mau," ujarnya.

Menurut dia, gugatan ke PTUN merupakan peringatan bagi pemerintah dan DPR yang sudah berjanji untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat adat.
Baca juga: AMAN katakan RUU Masyarakat Adat perlu terus dikawal

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2024