Jakarta (ANTARA) -
Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menyebutkan Peraturan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin sudah mengatur agar pernikahan anak tak terjadi.
 
"Dari pasal-pasal yang ada dalam Peraturan MA tersebut, pada intinya kalau seorang hakim menghadiri permohonan dispensasi kawin, itu pasal-pasalnya mempertimbangkan tiga kemampuan yakni kemampuan ekonomi, sosial, dan psikososial dari calon pengantin perempuan atau laki-laki," kata Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK Imron Rosadi ​​​​​​dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat.
 
Ia menjelaskan dispensasi pernikahan yang diberlakukan pada calon pengantin anak, baik perempuan maupun laki-laki yang kurang dari 19 tahun, sebetulnya sudah melalui proses-proses yang diawasi oleh pemerintah untuk mencegah agar pernikahan anak tidak terjadi.
 
"Adanya dispensasi kawin itu dalam pelaksanaannya kita kontrol," ucapnya.

Baca juga: UNFPA: Dispensasi perkawinan dapat melanggengkan pernikahan anak
 
Imron menyebut isu perkawinan anak dipicu oleh regulasi terbaru tentang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dan isu dispensasi kawin yang titik awalnya muncul dari Peraturan MA Nomor 5/2019 tersebut.
 
"Dua isu itu seolah-olah menjadi biang kerok makin besarnya angka perkawinan anak, padahal secara de facto kasus itu sudah 1,5 juta berdasarkan survei di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dan Kemenko PMK," ujarnya.
 
Ia menegaskan Peraturan MA tersebut merupakan mekanisme pengontrol agar perkawinan anak tidak dilakukan secara sembarangan.
 
"Di dalam asesmen atau yang menjadi bahan bagi para hakim untuk mengadili, itu ada di Pasal 5 huruf 1 Peraturan MA tersebut, misalnya para hakim menanyakan kepada anak itu tanpa ada orang tuanya. Jadi anak-anak itu curhat secara jujur tanpa ada intervensi orang dewasa," katanya. 
 
"Kemudian cara yang kedua, untuk asesmen melalui pendamping dewasa, biasanya dilakukan oleh seorang psikolog klinis, psikiater, atau dari Kementerian Sosial, Kementerian PPPA, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) baik di pusat maupun daerah," imbuhnya.

Baca juga: Pemerintah targetkan angka perkawinan anak turun 8,74 persen pada 2024
 
Ia mengatakan sudah ada ketentuan bagi para hakim yang memutuskan dispensasi kawin harus pernah mendapatkan capacity building atau pelatihan berkaitan dengan perlindungan anak.
 
Saat ini, menurutnya, yang menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah yakni apakah pasangan yang sudah melakukan dispensasi kawin, benar-benar melangsungkan pernikahan sesuai ketentuan negara, baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun lembaga yang memiliki wewenang untuk melangsungkan pernikahan lainnya.
 
"Jadi yang mengkhawatirkan itu dan masih menjadi pekerjaan rumah bagi kami, setelah mereka mengajukan dispensasi, enggak jelas akhirnya mereka jadi kawin atau tidak, mereka melakukan pernikahan yang di luar prosedur resmi," katanya.

Pernikahan di luar prosedur resmi tersebut dapat berakibat pada kedua pasangan yang tidak akan mendapatkan pelayanan di bidang kesehatan, pemeriksaan gizi, kelanjutan pendidikan, dan pelayanan-pelayanan dasar lainnya.

Baca juga: Wapres ajak masyarakat hindari pernikahan anak usia dini

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024