Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memastikan tidak ada lagi kasus baru stunting (tengkes) pada 2024 seiring dengan  kebijakan Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang melakukan intervensi langsung dalam pemberian gizi terhadap seluruh balita terutama yang berpotensi mengalami stunting.

Pemprov DKI Jakarta berkolaborasi dengan PKK dan RT/ RW gencar menjaring balita melalui kegiatan timbang badan di posyandu dan puskesmas.

Apabila ditemukan balita yang berat badannya di bawah standar, segera dilakukan pendampingan serta pemberian nutrisi dan protein agar berat badannya bisa kembali normal.

Terkait pemberian makanan tambahan berupa telur dan susu, Pemprov DKI juga mendapat dukungan tidak hanya dari badan usaha milik daerah tetapi juga badan usaha swasta yang banyak bertebaran di berbagai wilayah.

Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ani Ruspitawati mengemukakan bahwa dalam penanganan stunting tidak bisa ditangani pemerintah provinsi saja tetapi juga harus melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) yang peduli terhadap penanganan kasus stunting.

Dalam penanganan stunting, Pemprov DKI Jakarta mendapat dukungan dari TNI/ Polri, BUMD, badan usaha swasta, serta termasuk akademisi.

Hal ini diharapkan bisa menjadi tolok ukur daerah lain agar dalam penanganan stunting tidak semata-mata menggunakan anggaran tetapi juga melibatkan berbagai unsur di dalam dan luar lingkungan pemerintah untuk mendapatkan hasil terbaik.

Data pada November 2023 menunjukkan sebanyak 19 persen balita yang mengalami stunting setelah intervensi berhasil lepas dari stunting.

Namun fakta juga memperlihatkan keberhasilan penyelesaian stunting di DKI Jakarta tidak terlepas dari analisa terhadap suatu daerah hingga skala RT/RW untuk menuntaskan kasus tersebut, mengingat tidak semua bisa diselesaikan dengan pemberian protein dan nutrisi.

Banyak juga kasus stunting dipengaruhi rendahnya kesadaran warga di suatu wilayah untuk menjalankan pola hidup bersih dan sehat (PHBS).

Dengan kepadatan yang begitu tinggi menjadikan Provinsi DKI Jakarta rentan terhadap munculnya permukiman kumuh. Hal Ini  menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah setempat untuk menuntaskan persoalan stunting.

Persoalan stunting ini akhirnya berkaitan dengan problem di berbagai sektor mulai dari belum terpenuhinya semua kebutuhan warga terhadap layanan air bersih perpipaan yang menjadi kewajiban Perumda PAM JAYA hingga persoalan limbah rumah tangga yang belum tertata sepenuhnya.

Problem perkotaan

Pelayanan air bersih, pengolahan limbah, penanganan sampah, hingga penataan permukiman kumuh masih menjadi problem di kota-kota besar di dunia termasuk Jakarta. Tentunya hal ini membutuhkan penanganan secara menyeluruh melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Secara bertahap problematika yang dihadapi Provinsi DKI Jakarta harus bisa diselesaikan satu demi satu apabila persoalan stunting ingin dituntaskan. Sepanjang PHBS belum sepenuhnya dijalankan maka potensi stunting ini masih bisa muncul ke depannya.
Pemberian makanan tinggi protein menjadi solusi tercepat menangani stunting pada balita. (ANTARA/Ganet)


Sebagai contoh, di sektor pelayanan air bersih apabila menunggu program PAMJAYA maka layanan air bersih 100 persen baru dapat dipenuhi pada 2030. Mengingat capaian saat ini baru 60 persen yang artinya masih ada 40 persen daerah di Jakarta yang masih mengakses air yang dari sisi higienis belum terjamin.

Belum lagi persoalan limbah rumah tangga, mengingat tidak seluruh rumah memiliki tangki septik sehat. Sebagai gambaran tangki septik yang ideal harus berjarak 10 meter dari sumur resapan yang tentunya sulit diterapkan di permukiman padat penduduk.

Dengan demikian dapat dipastikan air tanah di lokasi padat penduduk sudah tidak layak minum karena sudah terkontaminasi. Namun warga tidak memiliki pilihan mengingat akses air bersih perpipaan belum terlayani. Hal ini yang membuat warga di permukiman kumuh rentan terpapar penyakit yang membuat penerapan PHBS belum dapat dijalankan secara sempurna.

Balita terpapar air yang tercemar juga rentan mengalami stunting meski sudah diberikan asupan tambahan. Sebagai solusi, keluarga yang memiliki balita harus membeli air kemasan isi ulang yang tentunya menjadi beban tersendiri bagi mereka yang berpenghasilan upah minimum provinsi (UMP) sekitar Rp5 juta.

Keluarga dengan penghasilan Rp5 juta tentunya harus bisa mengelola keuangannya sedemikian rupa karena di dalamnya ada unsur bahan pangan pokok, transportasi, tagihan listrik/ handphone, sandang, sekolah, pengobatan, dan lain-lain yang ujungnya pada kualitas gizi balita.

Pada akhirnya Pemprov DKI Jakarta harus melakukan intervensi di bidang infrastruktur khususnya di bidang instalasi pengolahan air limbah (IPAL) umum atau komunal terutama untuk di permukiman padat penduduk. IPAL ini berfungsi menampung dan mengolah air limbah rumah tangga dari wc, cucian, dan mandi menjadi berstandar lingkungan untuk kemudian dialirkan ke sumur resapan atau badan air (sungai).

Tentunya keduanya membutuhkan investasi yang sangat besar bagi Pemprov DKI Jakarta baik itu pembangunan IPAL komunal maupun penyediaan air bersih perpipaan. Namun setidaknya kedua hal itu sudah bisa menyelesaikan persoalan PHBS yang juga menjadi persoalan penanganan stunting ke depan.

Peran swasta dan BUMD

Dari problematika yang dihadapi Provinsi DKI Jakarta ini maka peran swasta dan BUMD juga sangat krusial untuk mengentaskan persoalan stunting ini. Dukungan yang diberikan swasta dan BUMD tersebut harus bisa memberikan makna lebih yakni dengan mengaplikasikan program pengentasan stunting secara berkelanjutan (sustainable).

Contohnya,  pemberian nutrisi atau makanan tambahan terhadap balita stunting tentunya sewaktu-waktu akan berhenti tatkala sudah dinyatakan sembuh dan sudah kembali tumbuh dan normal. Tetapi persoalan keberlanjutan terhadap PHBS ini yang harus diselesaikan secara terus menerus dan menyeluruh.

Country Head Corporate Communication salah satu perusahaan nutrisi global, Intan Pratiwi Darmawanti, mengakui penanganan stunting tidak bisa dilaksanakan dengan pemberian nutrisi dan makanan bergizi kepada balita saja, tetapi banyak aspek yang melekat agar persoalan itu bisa diatasi.

Menurut dia, hampir semua perusahaan memiliki program tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR) tetapi penyalurannya yang ideal bukan sekadar hadiah (charity) yang selesai saat itu juga, tetapi harus ada manfaat yang dirasakan secara berkelanjutan dan tentunya harus melibatkan dan memberdayakan masyarakat .

Salah satu dukungan terhadap pemerintah dalam penanganan stunting  adalah melalui MCK (mandi, cuci, kakus) komunal terutama untuk permukiman padat penduduk yang belum tersentuh layanan IPAL komunal.

MCK komunal menjadi salah satu solusi yang paling terjangkau untuk mengatasi limbah di permukiman padat. Dengan terpusatnya kakus, mandi, dan cuci di satu lokasi maka limbah yang dihasilkan bisa dikelola sesuai standar lingkungan. Tujuan akhir dari kehadiran MCK komunal ini adalah air yang dikonsumsi warga bisa lebih terjamin.

Kehadiran MCK komunal ini harus disertai dengan operasi dan pemeliharaan (OP) karena membutuhkan listrik, perawatan kebersihan, termasuk pemeliharaan bangunan. Oleh karenanya untuk mewujudkan perlu direkrut tenaga kerja yang bertugas agar fungsi OP berjalan dan melakukan penagihan kepada warga.

Untuk mengubah perilaku warga yang sudah terbiasa menjalani kehidupannya selama ini bukan lah perkara yang mudah. Oleh karena itu, pembangunan MCK komunal ini harus melibatkan berbagai pihak termasuk dari unsur RT/ RW dan tokoh masyarakat untuk melakukan perubahan demi kepentingan bersama.

Persoalan lokasi MCK itu juga menjadi persoalan karena harus dipastikan aman bukan berada di lahan sengketa. Tanah wakaf bisa menjadi solusi untuk mengatasi persoalan lokasi MCK apalagi kalau di sekitar kawasan juga disiapkan sarana ibadah.

Desain bangunan juga memiliki peranan penting karena MCK komunal ini harus menghitung berapa orang yang harus dilayani untuk menyesuaikan dengan jumlah bilik dan tekanan air yang di sediakan. Serta tentunya bangunan itu harus bisa dimanfaatkan dalam jangka panjang dan biaya OP harus terjangkau warga yang memanfaatkan fasilitas tersebut.

Bukan perkara mudah memang tetapi setidaknya bisa menjadi solusi sementara untuk penanganan stunting sebelum akses air bersih maupun IPAL komunal belum tersedia di suatu kawasan.

Program kerja sama BUMD/ swasta ini juga bisa diwujudkan dengan mudah apabila mendapat dukungan dari kementerian terkait. Hal ini mengingat untuk mewujudkan MCK komunal bukan perkara mudah. Soal dana mungkin bukan persoalan tetapi izin-izin dan standardisasi terkait aspek lingkungan tentunya membutuhkan penanganan tersendiri.

Program MCK komunal ini diharapkan bisa menjadi solusi sementara seraya menunggu program pemerintah daerah masuk ke dalam suatu kawasan padat. Dengan demikian, langkah seperti ini akan bisa mendukung terwujudnya generasi mendatang yang berkualitas demi tercapainya target Indonesia Emas 2045.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024