Jakarta (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak mendukung keinginan Menteri Kesehatan untuk meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang akan berdampak pada nasib petani tembakau.

"Lebih baik menyelesaikan carut marut tata niaga sektor pertanian daripada sibuk akan meratifikasi FCTC," kata Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Sulton Fatoni dalam Workshop "FCTC, Ancaman Petani Tembakau" yang diselenggarakan oleh LPBHNU di Jakarta, Rabu.

Sulton menegaskan bahwa pemerintah perlu fokus menguatkan sektor pertanian dengan cara menyelesaikan problem para petani, bukan justru menambah problem petani.

"Dinamika internasional perlu diperhatikan dengan tetap mengutamakan kepentingan para petani," tandas Sulton.

Menurut Sulton, PBNU mencatat bahwa hingga saat ini para petani belum merasakan kehadiran pemerintah dalam tata niaga hasil pertanian. Sudah banyak peraturan dibuat namun belum mampu memberikan dampak baik bagi para petani.

Peraturan yang memihak petani dibuat tanpa pengawasan dan kontrol ketat sehingga hanya tampak populis saat merumuskan sampai memutuskan namun "ompong" di tingkat implementasi, kata Sulton.

"Lalu, sekarang mau meratifikasi FCTC, makin terpuruklah kelompok petani," tambah Sulton.

Sulton berkeyakinan Presiden SBY tidak akan meratifikasi FCTC di tengah euforia keberhasilan perjuangan pemerintah dalam KTT WTO di Bali beberapa hari lalu.

"Butir-butir kesepakatan KTM WTO di Bali itu bukti Pak Presiden melindungi petani dalam negeri, peraturan menuju kedaulatan pangan pun sudah kita punya. Sekarang saatnya Pak SBY melanjutkan dengan tidak meratifikasi FCTC," kata Sulton.

Sebelumnya, dalam diskusi bertajuk "Kampanye Kondom, Antirokok: Indah, tapi Manipulatif?" yang digelar Lajnah Talif wan Nasyr (LTN) PBNU di Jakarta, Senin (16/12),

Bendahara Umum PBNU H Bina Suhendra mengungkapkan, ratifikasi FCTC harus dicermati dari kemungkinan bermuatan kepentingan politik dagang yang curang.

Mantan direktur utama salah satu perusahaan farmasi itu mengatakan bahwa politik dagang ini bukan lagi dugaan, tapi sekarang sudah terjadi.

"Di pedagang kelontong pinggir jalan sekarang sudah gampang didapatkan rokok impor. Artinya apa? Ratifikasi FCTC berpotensi mematikan industri rokok dalam negeri, dan jika itu terjadi, produk rokok asing akan semakin membanjiri pasar kita," ujar doktor lulusan TH Darmsatdh, Jerman, itu.

Ketua LPBHNU Andi Najmi Fuadi menambahkan jika Indonesia meratifikasi FCTC, potensi pendapatan dari cukai akan mengalami kemerosotan hingga lima puluh triliun rupiah.

"Dan jika itu terjadi, maka potensi hutang negara akan meningkat. Pertanyaannya, apakah anak cucu kita akan terus dibebani utang negaranya?" papar Andi.

Sementara Anggota Dewan Tahqiq Badan Halal NU KH Arwani Faisal menyatakan keputusan Muktamar dan Munas NU menegaskan jika rokok bukanlah produk yang haram untuk dikonsumsi.

"Islam menegaskan sebuah produk jika masih memiliki manfaat tidak boleh diharamkan. Demikian juga dengan rokok," kata Kiai Arwani.

Manfaat rokok dan produk turunan tembakau, disamping dampak negatifnya, sebelumnya dipaparkan oleh Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Brawijaya Prof Dr Sutiman Bambang Sumitro.

"Ada sejumlah orang yang bermasalah dengan kesehatannya, tapi bisa disembuhkan justru dengan terapi asap rokok, terapi tembakau, dan lain sebagainya. Itu saya sendiri sudah membuktikan, di mana banyak pasien saya yang datang dari luar negeri," katanya.

Sementara dampak negatif rokok bagi kesehatan, menurut Sutiman memang tidak bisa dipungkiri, tapi itu tidak bisa dijadikan untuk pendekatan yang bersifat individual.

"Sama halnya dengan daging kambing, tidak boleh untuk orang yang memiliki riwayat berpenyakit hipertensi, yang tidak ya tidak apa-apa," katanya.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2013