Pada anak-anak ini, ditemukan angka kesehatan mental yang terus menurun dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan mereka tidak merasa baik tentang diri mereka sendiri dan mengalami emosi negatif.
Jakarta (ANTARA News) - Studi terbaru menunjukkan bahwa intimidasi (bullying) di sekolah dapat meninggalkan tanda abadi pada tubuh dan pikiran korban selama bertahun-tahun.

"Efek dari bullying dapat bergerak seperti bola salju dari waktu ke waktu. Anak-anak yang mengalami intimidasi secara terus menerus, memiliki efek yang lebih parah," kata peneliti sekaligus psikolog dari Rumah Sakit Anak Boston, Laura Bogart, sebagaimana dilansir LiveScience.

Para peneliti melakukan survei pada sekitar 4.300 orang siswa di Los Angeles, Houston dan Birmingham serta Ala. Mereka lalu mengumpulkan data dari siswa ini ketika mereka berada di tingkat lima, tujuh dan sepuluh. Para peneliti juga mengumpulkan data dari orang tua mereka .

Para peneliti lalu menanyakan kepada partisipan soal seberapa sering mereka ditendang, didorong oleh anak lain selama setahun terakhir. Mereka juga meminta partisipan menyelesaikan kuesioner yang menggambarkan kesehatan fisik dan mental mereka.

Hasil penelitian menemukan pada siswa tingkat sepuluh, sekitar 30 persen pernah mengalami intimidasi. Sementara siswa pada tiga tingkat ini (tingkat lima, tujuh dan sepuluh) yang tidak pernah menjadi korban intimidasi dilaporkan sehat secara psikologis .

Hasil penelitian juga menunjukkan anak yang telah menjadi korban intimidasi di masa lalu memiliki luka psikologis abadi.

Pada anak-anak ini, ditemukan angka kesehatan mental yang terus menurun dari waktu ke waktu. Hal ini menunjukkan mereka tidak merasa baik tentang diri mereka sendiri dan mengalami emosi negatif. 

Lalu, apa yang bisa orangtua lakukan untuk membantu anak mereka yang menjadi korban intimidasi?

"Langkah pertama bagi orang tua adalah memperkuat komunikasi dengan anak sehingga wacana soal intimidasi dapat muncul dalam percakapan," kata Bogart. 

Bogart juga merekomendasikan pada orang tua untuk memperhatikan dan mengenali tanda-tanda intimidasi, seperti memar. 

Kemudian, lanjut ia, orang tua juga dapat mengubah perilaku anak yang tampak lebih cemas, sedih, depresi atau tidak ingin pergi ke sekolah. 

Bogart juga menyarankan bahwa orang tua harus lebih waspada terhadap tanda-tanda peringatan ini agar anak mereka tak termasuk dalam kelompok beresiko menjadi korban intimidasi. Ini termasuk anak-anak yang mengalami obesitas, cacat, anak muda yang lesbian, homoseksual, biseksual atau transjender .

"Meskipun tidak semua anak merupakan korban intimidasi, beberapa anak terpengaruh oleh intimidasi dan melihat kejadian intimidasi di sekolahnya, kemudan menjadi sadar apa yang sedang terjadi," tambahnya.

Ia menyarankan orang tua untuk membantu mengajar anak-anak bahwa itu tak masalah untuk berbicara jika mereka menyaksikan seseorang ditindas .

Penelitian ini tidak melihat efek fisik dari intimidasi secara penuh, tetapi kuesioner menanyakan tentang aktifitas fisik dasar, seperti apakah intimidasi menyebabkan mereka memiliki masalah saat berjalan di lingkungan sekitar, melakukan olah raga ataupun paduan suara.

Ia mengatakan bahwa penelitian hanya memperhatikan intimidasi secara perseorangan dan tidak termasuk intimidasi di dunia maya (cyberbullying).

"Cyberbullying akan menjadi arah penelitian ini ke depannya," kata Bogart.

Hasil penelitian ini akan dipublikasikan dalam Jurnal  Pediatrics pada Maret mendatang. 

Penerjemah: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014