Jakarta (ANTARA News) - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) lebih dari sekali, belum tentu diakomodasi dalam Rancangan Undang Undang tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kini tengah dibahas di Komisi III DPR RI.

"Tidak bisa begitu juga (langsung diakomodasi). Kita lihat perkembangan dan dinamika pembahasan RUU KUHAP dan KUHP. Tidak bisa otomatis Komisi III DPR RI memasukkan putusan MK itu dalam RUU KUHAP dan KUHP. Tergantung dinamika di Panja," kata Ketua Komisi III DPR RI, Pieter C Zulkifli, di Jakarta, Senin.

Pieter mengatakan, dikabulkannya uji materi soal UU KUHAP yang membolehkan adanya pengajuan PK lebih dari satu kali akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan hukum di Indonesia.

"Kepastian hukum tidak akan pernah terjadi dengan putusan MK itu. Bahkan, melukai proses di mana masyarakat ingin mendapatkan kepastian hukumnya. Orang miskin yang tidak punya biaya, akan pasrah bila jaksa ajukan PK. Tapi bagaimana dengan gembong narkoba, dan korupsi, mereka akan gunakan peluang itu untuk bebas dari tuntutan hukuman," kata Pieter.

Dia menyebutkan, di negara manapun, tidak ada pengajuan PK dilakukan berulang-ulang, kecuali di Indonesia. Karenanya, Pieter melihat putusan MK itu sangat kontroversial.

"MK tidak memposisikan dirinya sebagai lembaga untuk mengamankan dan mengembalikan jalur Konstitusi yang ada di UU, tapi MK sudah keluar dari Konstitusi. Kewenangan MK sudah terlalu besar," kata Pieter.

Oleh karena itu, dirinya mengusulkan agar pemerintah secepatnya mengajukan revisi UU MK, agar kewenangan MK tidak melampaui prinsip dasar hukum dan keadilan.

"Fakta ini juga menunjukkan hakim-hakim MK tidak semuanya memahami prinsip hukum dan keadilan. Ini membahayakan untuk penegakan hukum di Indonesia," ujarnya "ini indikasi ada konspirasi. Banyak orang yang berkepentingan dengan PK dari sekali ini."

Pewarta: Zul Sikumbang
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014