Pada saat yang sama kita harus menjaga sentralitas (ASEAN) dalam arsitektur kawasan yang terus berubah
Nay Pyi Taw (ANTARA News) - Presiden Myanmar Thein Sein menegaskan perlunya memetakan tujuan yang jelas dari Komunitas Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pasca2015 agar tetap relevan dengan perubahan lingkungan global.

"Tujuan ini harus juga mempertimbangkan perubahan kondisi politik dan pembangunan sosial budaya yang saat ini terjadi di kawasan dan dunia," kata Thein Sein dalam pidato sambutannya saat membuka Pertemuan Puncak Ke-24 Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Nay Pyi Taw, Minggu.

Ia menilai ASEAN harus terus memainkan peran strategis dengan lebih pro-aktif dengan pihak-pihak asing di tataran kawasan maupun global. ASEAN, kata dia, harus memberikan kontribusi lebih pada perdamaian dan kesejahteraan maysrakat global dengan mengambil kebijakan-kebijakan bersama untuk menjawab isu-isu yang menjadi perhatian dan kepentingan kawasan.

"Pada saat yang sama kita harus menjaga sentralitas (ASEAN) dalam arsitektur kawasan yang terus berubah," katanya.

Presiden Myanmar tidak secara langsung menyebut isu sengketa Laut China Selatan dalam pidatonya namun dalam beberapa kesempatan sejumlah pemimpin ASEAN secara terpisah mendorong agar negara-negara ASEAN dapat bersatu menentukan langkah bersama untuk mengatasi sengketa di Laut China Selatan yang dalam beberapa waktu memanas.

Lebih lanjut, Presiden Myanmar mendorong agar negara-negara ASEAN memahami keperluan untuk terus mempromosikan perdamaian, stabilitas dan kesejahteraan ekonomi di kawasan. Ia juga menegaskan komitmen Myanmar untuk menjadi bagian dari upaya ASEAN membangun sebuah Komunitas yang bersatu, damai dan sejahtera.

"Hari ini, kita berada di titik kritis dan kita perlu mengambil seluruh langkah yang diperlukan ... untuk mewujudkan Komunitas ASEAN," katanya merujuk pada Komunitas ASEAN 2015.

Sebelumnya, pada hari Sabtu (9/5), para Menteri Luar Negeri ASEAN dalam pernyataan bersama mereka menyatakan keprihatinan serius asosiasi itu terkait perkembangan di Laut China Selatan yang telah meningkatkan ketegangan di kawasan.

Para Menlu ASEAN yaitu Menlu Brunei Pehin Dato Lim Jock Seng, Menlu Kamboja HOR Namhong, Menlu Indonesia Marty Natalegawa, Menlu Laos Thongloun Sisouth, Menlu Malaysia Anfah Aman, Menlu Filipina Albert F. Del Rosario, Menlu Singapura K. Shanmugam, Perwakilan Thailand Sihasak Phuangketkeow, dan Menlu Vietnam Pham Binh Minh, mendesak seluruh pihak yang terlibat--selaras dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982--untuk menahan diri dan menghindari setiap aksi yang dapat mengganggu perdamaian dan stabilitas di kawasan.

Para Menlu itu juga meminta agar penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara-cara damai tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.

Perselisihan teritorial maritim di Laut China Selatan memiliki potensi untuk berkembang menjadi konflik antarnegara yang mengklaim sebagian atau seluruhnya dari kawasan itu merupakan bagian dari kedaulatannya. Tumpang-tindih klaim di antara Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei yang notabene merupakan anggota ASEAN dan juga Tiongkok serta Taiwan menimbulkan ketegangan di kawasan. Puncak ketegangan ditandai dengan pendudukan baru, klaim baru, penangkapan kapal ikan dan kegiatan-kegiatan lain.

ASEAN terbentuk pada tahun 1967 beranggota Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Masalah Laut China Selatan telah menjadi pekerjaan rumah lebih satu dasawarsa bagi beberapa negara anggota ASEAN khususnya dan ASEAN pada umumnya.

Pewarta: GNC Aryani
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014