Jakarta (ANTARA News) - "Mimpi saya setiap desa nelayan punya bandara seperti di Simeulue."

Menteri Kelautan dan Perikanan  Susi Pudjiastuti mengatakan hal itu dalam dialog  dengan pelaku usaha di kantornya Selasa (11/11).

Bandara diperlukan agar hasil tangkapan nelayan tradisional bisa langsung diangkut dan dapat langsung diekspor sehingga hasilnya juga bisa langsung dinikmati oleh nelayan tradisional di daerah tersebut.

Menteri Kelautan dan Perikanan heran karena  Thailand yang garis pantainya sepersepuluh lebih kecil dari Indonesia tetapi hasil ekspornya hingga lima kali lebih besar dari Indonesia.

usi Pudjiastuti juga menginginkan pemerintah daerah tidak memungut retribusi dari nelayan kecil atau mereka yang memiliki kapal penangkap ikan berbobot kurang dari 10 GT (Gross Tonnage).

"Saya sedang menunggu respons dari gubernur dan bupati terkait pembebasan pungutan bagi kapal di bawah 10 GT," kata Susi Pudjiastuti setelah bertemu Dubes Kanada untuk RI Donald Bobiash, Kamis (6/11).

Kapal besar atau berbobot di atas 30 GT adalah langsung melalui kementerian pusat yaitu KKP, sedangkan yang berbobot di bawah 30 GT diserahkan kepada pemerintah daerah.

Menurut Susi, pemerintah daerah tidak akan kehilangan pemasukan karena biaya pungutan untuk kas daerah itu akan diupayakan diganti dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi pemerintah daerah tersebut.

"Saya berjanji menukarnya (pungutan retribusi terhadap nelayan kecil) dengan DAK," katanya.

Namun, ia mengemukakan bahwa DAK yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah tersebut mesti digunakan untuk hal yang produktif.

Menteri Kelautan dan Perikanan menyebutkan, usulan kebijakan itu agar nelayan kecil di daerah jangan diberatkan lagi dengan pungutan.

Ia juga menyatakan kegembiraannya karena peraturan menteri kelautan dan perikanan terkait dengan moratorium telah dilegalisasi oleh Menteri Hukum dan HAM.

"Moratorium sudah ditandatangani," kata Susi yang sebelumnya telah menyatakan di banyak kesempatan bahwa dirinya ingin menghentikan pemberian izin bagi kapal penangkap ikan berbobot lebih dari 30 GT yang berasal dari pengadaan asing atau kapal eks-asing.

Moratorium itu rencananya akan dilakukan untuk menata ulang sistem dan mekanisme izin perikanan tangkap bagi kapal besar penangkap ikan yang berlaku di kawasan perairan Indonesia.

Menteri Kelautan dan Perikanan berpendapat bahwa selama ini penerimaan negara dari perizinan kapal besar penangkap ikan masih minim, yaitu sekitar 200-300 miliar rupiah per tahun.

Subsidi BBM

Impian lain Susi untuk nelayan terkait dengan BBM, di mana KKP bakal mengkaji kebijakan penyaluran BBM subsidi bagi nelayan dengan harapan akan mengalokasikan pengalihan data BBM subsidi tersebut kepada program peningkatan kesejahteraan.

"KKP berencana untuk mengkaji kembali kebijakan penyaluran BBM bersubsidi bagi nelayan pada tahun 2015," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di Jakarta, Jumat (31/10).

Untuk itu, menurut dia, KKP akan memeriksa ulang perizinan yang telah diterbitkan, termasuk mengecek keberadaan kapal-kapal bertonase berat yang masih mengggunakan BBM bersubsidi.

Menteri Kelautan dan Perikanan mengemukakan, pihaknya telah melakukan audiensi dengan perwakilan para nelayan dan para pembudidaya dan mendapatkan informasi antara lain selama ini para nelayan harus menunggu hingga 7-10 hari lamanya demi mendapatkan kucuran BBM bersubsidi.

Berdasarkan data KKP, kapal bertonase di atas 30 GT berjumlah 5.329 kapal sementara nelayan kecil yang menggunakan kapal di bawah 30 GT nelayan memiliki jumlah hingga 630.000 kapal.

Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014