Jakarta (ANTARA News) - Walaupun memiliki potensi panas bumi sebesar 20 ribu MW, atau 40 persen dari total potensi dunia, Indonesia belum juga memaksimalkan penggunaan panas bumi sebagai sumber energi pembangkit listrik. Potensi panas bumi ditemukan di 244 lokasi yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Pulau Sumatera diperkirakan memiliki potensi listrik 9.500 MW, Jawa-Bali 5.600 MW, Sulawesi 1.500 MW, dan 2.800 MW di pulau-pulau lainnya. Potensi panas bumi Indonesia setara dengan 9 miliar barel minyak bumi untuk 30 tahun operasi pembangkit listrik berbahan dasar minyak bumi. "Namun nyatanya Indonesia baru manfaatkan 3-5 persen potensi panas bumi," kata Iwan Azof, juru bicara dari Chevron Geothermal Salak, Senin. Di Gunung Salak, tepatnya di Kecamatan Kalapanunggal dan Kabandungan (Kabupaten Sukabumi) dan Kecamatan Pamijahan (Kabupaten Bogor), Chevron mengolah potensi panas bumi bekas gunung berapi itu dan menghasilkan 377 MW untuk dijual ke PLN. Menurut Iwan, panas bumi adalah sumber energi yang paling ramah lingkungan karena tiap MW yang dihasilkan hanya menimbulkan 5 persen CO2 emisi pembangkit listrik berbahan dasar batu bara. Selain emisi CO2 yang rendah, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) membutuhkan luas lahan operasi yang lebih kecil daripada pembangkit listrik jenis lain. Pada saat harga minyak bumi melambung, panas bumi dapat dilihat sebagai energi alternatif bagi Indonesia. "Panas bumi di Indonesia mudah didapat secara kontinu dalam jumlah besar, tidak terpengaruh cuaca, dan jauh lebih murah biaya produksinya daripada minyak bumi atau batu bara," kata Iwan. Untuk menghasilkan 330 MW, pembangkit listrik berbahan dasar minyak bumi memerlukan 105 juta barel minyak bumi, sementara PLTPB hanya mengolah sumber panas dari dalam bumi. Kendala prasarana dan biaya Namun begitu Iwan pun mengakui bahwa kendala pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi terletak di infrastruktur dan biaya penggalian. "Kebanyakan sumber panas bumi terletak di gunung-gunung, jadi butuh biaya besar untuk pembuatan jalan dan semacamnya. Beda dengan pengolahan minyak bumi atau batu bara yang biasanya dilakukan di tepi pantai, sehingga biaya pembukaan lahannya tidak terlalu besar," kata Iwan. Ia melanjutkan investasi yang diperlukan untuk tiap MW yang dihasilkan PLTPB bisa mencapai 1-1,5 juta dolar Amerika. Sedangkan dalam hal sumber daya manusia (SDM)dan teknologi, Iwan yakin Indonesia sudah siap untuk mengembangkan panas bumi. "Saya yakin SDMB dan teknologi kita dari berbagai universitas sudah sanggup membangun PLTPB sendiri, kini tinggal upaya kuat dari pemerintah untuk mengembangkan potensi panas bumi," demikian Iwan Azof. (*)

Copyright © ANTARA 2006