Lupakan pertumbuhan jika tanpa stabilitas, maka kecenderungan kami, kebijakan moneter bias ketat masih akan dijaga,"
Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan moneter bias ketat masih diperlukan sepanjang 2015, karena upaya menjaga stabilitas perekonomian masih dibayangi berbagai tekanan ekonomi global, dan ancaman laju inflasi dari domestik..

"Lupakan pertumbuhan jika tanpa stabilitas, maka kecenderungan kami, kebijakan moneter bias ketat masih akan dijaga," kata Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo pada seminar "ANZ Economic Outlook 2015" kerja sama PT Bank ANZ Indonesia dengan LKBN Antara di Jakarta, Kamis malam.

Pernyataan Perry tersebut sekaligus menjawab pertanyaan Mantan Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan Dorojatun Kuntjoro Jakti dalam seminar tersebut. Dorojatun mengkhawatirkan takaran kebijakan moneter ketat di Indonesia tidak diimbangi dengan kebijakan fiskal yang kuat, untuk mengantisipasi tekanan ekonomi global.

Menurut Perry, secara umum respon kebijakan untuk mengantisipasi tekanan global dan juga domestik mencakup tiga kebijakan. Pertama, bauran kebijakan moneter dan fiskal. Kemudian, kebijakan moneter dan makro ekonomi. Selanjutnya adalah kebijakan moneter dengan keadaan struktural perekonomian.

"Tiga policy ini terus berjalan, dan telah ada sinkronisasi," ujarnya.

Menurut dia, meskipun BI masih mempertahankan kebijakan moneter ketat, namun secara makro dan finansial, tekanan terhadap likuiditas telah berkurang.

Maka dari itu, menurutnya, Bank Indonesia berani memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan pada 2015 akan berada di 15-17 persen. Perkiraan otoritas moneter ini, ujarnya, sangat optimistis karena realisasi pertumbuhan kredit hingga akhir 2014 saja hanya 12 persen.

"lending telah kita naikkan, ini karena kebijakan suku bunga, prospek, dan likuiditas keuangan menunjukkan sentimen positif," kata dia.

Secara umum, Perry optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2015 akan lebih baik dibanding 2014. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2015 berada di rentang 5,4 - 5,8 persen.

"Catatan lainnya, defisit neraca transaksi berjalan masih di kisaran tiga persen terhadap PDB, karena tahun ini lebih banyak belanja pemerintah yang akan mendorong impor barang modal," ujarnya.

Di kesempatan yang sama, Chief Economist South Asia, ASEAN and Pacific ANZ Glen Maguire memperkirakan Indonesia akan melewati masa perekonomian yang konstruktif di 2015, karena telah melakukan perbaikan signifikan pada fundamental perekonomian.

"Ini akan meletakkan dasar untuk siklus pertumbuhan tahunan yang lebih kuat. Indonesia akan muncul sebagai kekuatan ekonomi besar di Asia ke depannya," ujar dia.

CEO ANZ Indonesia Joseph Abraham memuji kebijakan pengalihan belanja subsidi BBM yang dijalankan pemerintah Indonesia. Kebijakan pengalihan subsidi itu, kata dia, sangat diperlukan untuk mengekspansi pembangunan dan menyehatkan ruang fiskal pemerintah.

"Meskipun ada volatilitas di eksternal, Indonesia tetap menarik bagi investor," ujar dia.

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015