New York (ANTARA News) - Rupanya makin banyak warga Amerika Serikat yang menyukai gamelan Jawa, sehingga mereka yang ingin belajar alat musik tradisional Indonesia itu harus mengikuti audisi. Soal menonton, apresiasi masyarakat AS terhadap gamelan cukup tinggi. Pada pementasan Gamelan Kusuma Laras bertempat di Konsulat Jenderal RI di New York baru-baru ini, misalnya, para pengunjung yang kebanyakan orang bule memadati ruangan Pancasila KJRI yang menjadi tempat pergelaran. Saat itu kelompok gamelan yang dilatih I.M Harjito dan Anne Stebinger, warga AS yang sudah puluhan tahun mengenal gamelan, menggelar pementasan sebanyak dua kali dalam dua hari untuk menggalang dana bagi korban gempa bumi di Jawa Tengah. Kusuma Laras, yang sebagian besar pemainnya -- termasuk pesindennya -- adalah warga negara AS, menampilkan beberapa nomor, termasuk 'Gendhing Cucur Bawuk', 'Gendhing Condronoto', dan 'Gendhing Jangkung Kuning'. Dengan masing-masing mengenakan pakaian batik dan asesoris apapun yang berbau batik, para pemain kulit putih tersebut terlihat luwes memainkan gendhing yang berirama relatif cepat maupun lambat. Tiga dari empat pesinden juga merupakan warga AS dan mereka fasih melantunkan tembang-tembang berbahasa Jawa, termasuk dengan cengkoknya. Pementasan Kusuma Laras mendapat tepuk tangan panjang dari para penonton, yang tampaknya masih belum puas untuk mendengarkan lagi permainan gamelan. Tidak ada penonton yang beranjak, kendati para pemain relatif sudah cukup lama berdiri untuk menerima penghormatan dari para penonton. Penonton akhirnya harus diusir oleh penyelenggara acara. "Ini sudah berakhir, silakan membubarkan diri." Satu-satunya pesinden Indonesia yang ikut pentas pada malam itu, Denny Harjito, mengakui bahwa sebenarnya ketiga rekannya yang menembang Jawa tersebut tidak bisa berbahasa Jawa dan tidak mengerti semua kalimat yang mereka nyanyikan. "Mereka belum begitu mengerti Bahasa Jawa. Tapi Bapak (I.M Harjito, suami Denny Harjito, red) melatih secara detil pengucapan, juga artikulasinya," kata Denny ketika ditanya bagaimana ketiga pesinden AS itu terdengar seperti pesinden-pesinden Jawa ketika menembangkan lagu. I.M Harjito, yang ditemui ANTARA usai pementasan, menganggap permainan murid-muridnya di kelompok Kusuma Laras memang sudah termasuk luwes. "Mereka sudah tahu 'feeling'. Yang penting kan 'feeling', jadi mereka sudah bisa mengikuti sinyal-sinyal dari drum (gendang/kendang, red)," kata Harjito yang pada malam itu menjadi konduktor dengan memainkan gendang. Selain melatih kelompok Gamelan Kusuma Laras-KJRI New York, Harjito adalah pengajar gamelan Jawa di Wesleyan University sejak tahun 1984. Audisi "Feeling" atau rasa, adalah faktor yang sangat diperhatikan oleh Harjito melatih murid-muridnya bermain gamelan. "Karena yang digarap bukan hanya mata dan pikiran, tapi `feeling`. Itu yang susah. Kemampuan tiap orang untuk belajar gamelan itu tidak sama," kata lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo, yang juga pernah mengajar di sejumlah universitas di AS, termasuk Brown University, University of Chicago, University of California dan San Fransisco State University. Di kampus tempatnya saat ini mengajar, Westleyan University, cukup besar jumlah peminat mata kuliah gamelan Jawa. Setiap semester ada sekitar 70-80 orang yang antre untuk mengambil mata kuliah tersebut, padahal hanya 18 orang yang bisa ditampung. Karena tempat yang terbatas, menurut Harjito, tiap awal semester terpaksa dirinya harus memilih mahasiswa yang boleh mengikuti kelasnya, yaitu dengan melakukan audisi plus wawancara terhadap setiap calon mahasiswa. Hal mendasar yang langsung dijadikan target audisi adalah "feeling". Saat audisi, setiap calon mahasiswa diminta untuk memainkan gamelan. "Audisinya ada menyangkut `rythm`, tempo. Pokoknya harus main salah satu instrumen gamelan," kata Harjito. Bagaimana jika mereka belum pernah bermain gamelan dan tidak tahu bagaimana caranya memainkan alat musik tradisional Jawa tersebut? "Tidak apa-apa. Kita beri tahu cara-caranya. Dari situ kita bisa melihat bagaimana `feeling` mereka dan kecepatan mereka menangkap cara-cara serta melakukannya sesuai dengan sejauh mana contoh yang bisa mereka lihat. Ada yang 'feeling'-nya cepat sekali menangkap, tapi ada juga yang tidak kuat menangkap" kata Harjito. Menurut pengalamannya, calon-calon mahasiswa yang cepat menangkap rasa dalam permainan gamelan Jawa adalah mereka yang rata-rata memiliki latar belakang musik. Minat warga Amerika Serikat terhadap gamelan sudah sedemikian meluasnya, sehingga Atase Pendidikan dan Kebudayaan-KBRI Washington, Harris Iskandar, menganggap bukan sesuatu yang asing jika melihat gamelan dimainkan di Amerika Serikat. Betapa tidak, saat ini, menurut Harris sudah sekitar 300 kelompok gamelan Jawa dan Bali yang terdaftar di berbagai negara bagian di AS, dan lebih dari separuhnya terus melakukan kegiatan mereka secara aktif. Di Washington, setidaknya ada dua kelompok gamelan yang sudah cukup dikenal, yaitu kelompok gamelan Jawa yang dipimpin oleh DR Cindy Benton-Groener di Departemen Musik William and Mary College, serta Raras Arum, kelompok gamelan Jawa yang cukup sering berlatih di Gedung KBRI Washington. Kebanyakan pemain yang bergabung dengan kelompok-kelompok gamelan tersebut adalah warga AS. Mereka cukup sering tampil di depan publik, seperti pada resepsi kedutaan, santap malam perusahaan swasta, acara di pusat-pusat budaya, serta museum dan sekali tampil biasanya mereka memainkan gamelan selama 40 menit sampai dua jam. Tampil di berbagai tempat di AS juga sudah banyak dilakukan Gamelan Kusuma Laras-KJRI New York. Kelompok gamelan yang dibentuk pada 1983 oleh Deena Burton, Marc Perlman dan Anne Stebinger itu pernah menggelar penampilan, antara lain, di American Museum of Natural History, the Arts at St. Ann`s, the Asia Society, Brooklyn Academy of Music, the Metropolitan Museum of Art, dan the Whitney Museum of Art. Bagi banyak kalangan, minat terhadap gamelan semakin tumbuh menjadi kecintaan, tidak saja terhadap musik gamelan itu sendiri, tetapi juga kepada orang-orang yang pernah mengajari mereka bermain gamelan. Penampilan Anne Stebinger -- yang telah menggeluti gamelan selama 30 tahun -- bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Gamelan Kusuma Laras baru-baru ini dalam acara penggalangan dana merupakan salah satu bukti kecintaan mereka terhadap musik gamelan beserta orang-orang di balik musik tradisional Indonesia itu. Dana yang terkumpul sekitar 4.000 dolar AS dalam dua kali penampilan mereka akan disumbangkan kepada 31 keluarga seniman di Jawa Tengah, kebanyakan dalang dan pesinden, yang menjadi korban gempa bumi pada 27 Mei 2006 lalu. Uang sebesar 4.000 dolar itu akan menambah dana senilai 10.000 dolar AS lainnya yang sebelumnya telah terkumpul dari hasil sumbangan keluarga besar maupun teman-teman sesama pencita dan pemain gamelan Jawa dengan berbagai latar belakang profesi, antara lain pemusik, pembuat lagu, guru SMP, ahli komputer, ahli hukum, akuntan, dam pengusaha. Anne mengatakan sumbangan yang telah terkumpul memang tidak akan cukup untuk 31 keluarga yang terkena bencana, namun setidaknya itulah yang mereka dapat lakukan terhadap sesama seniman. "Karena kami mencintai sekali kebudayaan Indonesia, pernah belajar Karawitan Jawa sudah lama, dan ingin berterima kasih dan untuk menghormati guru-guru kita," kata Anne. (*)

Copyright © ANTARA 2006