"Ini adalah sebagai bentuk kontribusi saya sebagai warga negara Indonesia yang tinggal di Bandung untuk Peringatan Konferensi Asia Afrika, yang ke 60 tahun".

Itulah kalimat yang dilontarkan oleh salah seorang konseptor pembuat Logo Konferensi Asia Afrika (KAA) Ke-60, Muhammad Yahya, di Bandung, Selasa (14/4).

Logo KAA Ke-60 itu diciptakan oleh dua orang anak muda Bandung yang tergabung dalam Komunitas Bandung Desain Independen yakni Muhammad Yahya dan Firman Mustari.

Peluncurkan Logo resmi KAA Ke-60 sendiri telah dilakukan oleh Museum Konferensi Asia Afrika Bandung, pada awal Maret 2015 lalu.

Lulusan Desain Produk Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) itu memang diminta langsung oleh Wali Kota Bandung M Ridwan Kamil selaku panitia lokal pelaksanaan KAA Ke-60 untuk menyumbangkan idenya untuk pembuatan logo KAA.

"Sebelumnya memang kami tergabung dalam perkumpulan kreatif dan sering mengerjakan pekerja desain mendesain. Dan kebetulan kenal sama Kang Emil. Dan Kang Emil meminta bantuan kita untuk membuat ini," kata dia.

"Tapi waktu itu Kang Emil (Wali Kota Bandung) ada tugas ke Jepang. Jadi kita diutus untuk bertemu dengan Menkominfo Pak Rudiantara, untuk mempersiapkan dari sisi komunikasi butuh identitas. Makanya kita ketemu hari itu juga, kerja satu malam karena ini harus mendapatkan persetujuan dari Kementerian lainnya dan Pak Presiden Jokowi," tambah Yahya.

Tanpa disangka, panitia pusat penyelenggara KAA Ke-60 memutuskan bahwa desain logo yang dibuat oleh mereka terpilih menjadi logo resmi Peringatan KAA Ke-60.

"Alhamdulilah, ternyata pemerintah memutuskan untuk memilih logo yang kami buat. Kaget dan sempat tidak menyangka bahwa mereka memilih karya kami," kata dia.

Yahya mengatakan, logo KAA yang dibuatnya dalam satu hari ini lebih menonjolkan unsur kekinian yang dihadapi oleh bangsa Asia Afrika dan jauh dari aroma politik, sederhana, mudah dipahami namun tidak mengurangi unsur seni dan semangat KAA.

"Kalau dulu itu kan urusannya politik, urusan negara-negara yang terjajah, kemudian pesan anti kolonialisme. Nah kalau sekarang itu kita (negara Asia-Afrika) tidak bisa dipisahkan, dan itu semua sama," ujar lulusan Desain Produk Institut Teknologi Bandung ini.

Unsur kekinian yang ditampilkan pada logo KAA tersebut, kata dia, bisa dilihat dari warna serta bentuknya yang lebih dinamis dibandingkan logo KAA tahun sebelumnya.

Ia menuturkan, wujud dari logo KAA Ke-60 adalah dua buah huruf a kecil berwarna merah dan hijau yang digabungkan ada ada garis relevansi.

"Kemudian kalau diamanati, huruf a yang digabung itu terlihat menjadi angka 60. Lalu ada warna merah dan hijau, itu merahnya Asia, hijaunya Afrika," kata dia.

Garis interseksi atau persinggungan pada logo tersebut, lanjut dia, menandakan keterikatan dan persaudaraan di antara bangsa Asia Afrika.

"Dan untuk tetap mempertahankan unsur sejarah KAA pada logo baru ini, kita pastinya melakukan riset terlebih dahulu seperti melihat dokumentasi zaman dulu, terus apa saja yang sudah dibuat mengenai acara Asia Afrika," kata dia.



Hibah Logo



Tidak hanya tanah atau uang yang bisa dihibahkan, Muhammad Yahya dan Firman Mustari pun menghibahkan logo KAA Ke-60 yang dibuatnya.

"Kita memberikan sepenuhnya desain logo KAA tersebut kepada panitia pusat. Tapi kita tetap pemegang hak ciptanya. Selebihnya kita hibahkan, ibaratnya," kata Firman Mustari.

Logo tersebut, kata Firman, merupakan bentuk sumbangsih ia dan rekannya untuk negara ini.

"Sebuah kebanggaan tersendiri ketika diberi kabar bahwa logo kami yang terpilih," kata dia.

Sebenarnya ia dan Yahya membuat lima ide alternatif terkait desain logo KAA tersebut dan itu semua dibuat di kediaman Firman di Jalan Taman Cibunut Kota Bandung.

Namun, kata dia, setelah semua draf yang dibuatnya disodorkan kepada Menkominfo Rudiantara rupaya memilih logo yang ditetapkan sekarang.

Atas karyanya membuat logo KAA tersebut, Firman dan Yahya mengaku tidak dibayar sepeser karena apa yang mereka lakukan itu adalah persembahannya untuk bangsa ini.

"Jadi selama membuat logo tersebut saya dan Yahya tidak memikirkan materi. Dan memang sebelumnya sudah ada obrolan soal semangat solidaritas, kebersamaan, dan keinginan anak muda untuk bangsa Indonesia ini," kata dia.

Oleh Ajat Sudrajat
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015