Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mengaku sangsi atas kekhawatiran kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang menggarap Lapangan Abadi, Blok Masela di Laut Arafura, Maluku, akan meninggalkan proyek tersebut.

Tenaga Ahli Menteri Bidang Energi Kemenko Kemaritiman Haposan Napitupulu dalam diskusi migas di kantor Kemenko Kemaritiman Jakarta, Jumat, mengatakan kecil kemungkinan bahwa KKKS yang menggarap Blok Masela, Inpex Corporation dan Shell Upstream Overseas Services bakal hengkang.

"Soal kekhawatiran, karena sudah menemukan cadangan besar (di Masela), tidak mungkin ditinggalkan begitu saja," katanya.

Mantan Direktur Pertamina EP itu menuturkan, perusahaan migas asal Jepang, Inpex, juga dinilai tidak akan dengan mudah keluar dari proyek di Blok Masela yang menjanjikan itu.

"Apalagi Inpex, yang memang sudah lama (di Indonesia) dan sudah banyak participation interest di blok-blok migas lain. Sangat kecil kemungkinannya hengkang," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Tenaga Ahli Menteri Bidang Kebijakan Energi Kemenko Kemaritiman Abdulrachim menambahkan KKKS tersebut diyakini tidak akan hengkang dari blok tersebut.

"Dia (KKKS) sudah kerja di sini (Masela) dari 1998. Mereka sudah keluarkan 1 miliar dolar AS sampai 2 miliar dolar AS, tapi belum dibayar karena pembayaran cost recovery baru bisa dikeluarkan kalau sudah produksi. Ada uang gantung, enggak mungkin dia lari," katanya.

Abdul juga menuturkan, keputusan mengenai pengelolaan Blok Masela memang lebih baik kalau diputuskan dengan cepat. Namun, lanjut dia, lebih baik lagi jika lebih efisien.

Hal itu menyusul perbedaan harga untuk kilang di darat (on shore) dan di laut (off shore) yang disampaikan pihak kontraktor dan Kemenko Kemaritiman.

Kontraktor memperkirakan biaya pembangunan kilang di laut hanya sebesar 14,8 miliar dolar AS dan pembangunan kilang di darat mencapai 19,3 miliar dolar AS.

Hal itu berbeda dengan kajian pihaknya yang memperkirakan pembangunan kilang darat sekitar 16 miliar dolar AS. Sementara,biaya pembangunan kilang apung di laut mencapai 22 miliar dolar AS.

Belum lagi, kata dia, jika dilihat dari pertimbangan dampak ganda yang dihasilkan dari dua skema pengelolaan tesebut.

"Kalau terapung, hanya menghasilkan LNG saja. Tidak ada industri petrokimia dan segala macam. Kalau di darat, tentu bisa menghasilkan industri petrokimia, serap tenaga kerja dan bisa dirasakan ke rakyat Maluku," ujarnya.

Pewarta: Ade Irma Junida
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016