Yogyakarta (ANTARA News) - Berbagai bentuk kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), di antaranya kekerasan fisik, emosional, seksual, dan penelantaran masih berpotensi mengintai anak-anak di Kota Yogyakarta.

"Masih banyak anak-anak di Kota Yogyakarta yang mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Jumlahnya mencapai puluhan kasus sepanjang 2015," kata Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP) Kota Yogyakarta Lucy Irawati di Yogyakarta, Senin.

Berdasarkan data yang diterimanya, total kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi sepanjang 2015 sebanyak 626 kasus yang bisa dibagi berdasarkan usia korban.

Sebanyak 86 kasus dialami anak berusia 0-17 tahun dan selebihnya dialami oleh anak atau warga yang sudah berusia lebih dari 18 tahun.

Seluruh anak-anak yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, lanjut Lucy, perlu memperoleh penanganan yang tepat agar tetap bisa tumbuh dan berkembang dengan baik.

"Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memenuhi seluruh hak anak," katanya.

Hak anak terbagi menjadi 32 yang bisa dirangkum menjadi hak hidup, hak tumbuh dan berkembang, hak memperoleh perlindungan dan hak berpartisipasi dan berpendapat.

Selain itu, lanjut dia, Pemerintah Kota Yogyakarta juga terus berupaya mewujudkan kondisi lingkungan dan sosial yang bisa mendukung pemenuhan hak kepada anak dengan terus memperbanyak keberadaan kampung-kampung ramah anak di wilayah.

"Dari sisi regulasi, Pemerintah Kota Yogyakarta juga telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak," katanya.

Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jaringan Penanganan Korban Kekerasan Berbasis Gender Kota Yogyakarta Anik Setyawati Saputri mengatakan, angka kekerasan yang dialami anak-anak masih cenderung tinggi.

"Jumlah kasus kekerasan yang terekspos masih jauh lebih kecil dibanding kondisi yang sebenarnya. Di DIY, kasus kekerasan yang dialami anak bisa mencapai sekitar 2.000 kasus," katanya.

Ia mengatakan, berdasarkan hasil konseling dan penanganan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan, diketahui bahwa pelaku kekerasan biasanya menjadi korban saat mereka masih anak-anak.

"Saat sudah dewasa, mereka melakukan tindak kekerasan kepada anak-anaknya. Mungkin, masih ada rasa trauma yang dialami saat kecil," katanya.

Negara, lanjut dia, sebenarnya bisa mencabut hak asuh orang tua kepada anak apabila tidak bisa memberikan perlindungan kepada anak.

Sedangkan untuk anak yang menjadi pelaku kekerasan dan menjalani hukuman, maka proses pengadilan dilakukan secara khusus begitu pula dengan penempatannya, yaitu dititipkan di Balai Pemasyarakatan atau di ruangan khusus di Lembaga Pemasyarakatan.

Pewarta: Eka Arifa Rusqiyati
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2016