Jakarta (ANTARA News) - Badan Pengawas Keuangan (BPK) menilai biaya penyehatan dan konsultan dalam rangka divestasi NV Indover Bank Amsterdam (IBA) sebesar 348,01 juta dolar AS (Rp3,13 triliun) dan Rp109,61 miliar tidak efektif. Demikian hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu BPK pada semester II 2006 seperti disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution dalam hasil pemeriksaan semester II 2006 kepada DPR di Gedung DPR, Jumat. "Bayar konsultan begitu mahal, didapat calon pembeli dari negara miskin, bekas negara komunis. Ini main-main namanya. Buang-buang banyak uang untuk konsultan itu," katanya Menurut BPK sejak awal Bank Indonesia (BI) memiliki bank itu dimana hampir seluruh dana IBA adalah berupa penempatan cadangan luar negeri BI. Dana tersebut, masih menurutnya, didaur ulang kembali ke Indonesia sebagai pinjaman kepada pengusaha nasional yang pada umumnya adalah kroni pengusaha hingga akhirnya macet dan terpaksa dialihkan kembali pada BI atau pemerintah. NV IBA pun akhirnya diputuskan untuk didivestasi Penawaran yang diterima konsultan BI atas rencana divestasi NV Indover, kata Anwar, di antaranya berasal dari Parex Bank, bank di negara Latvia, yaitu sebuah negara komunis bekas bagian dari Uni Sovyet. "Tidak mungkin bekas negara komunis begitu bisa punya dana besar. Bisa dicek itu Parex Bank di sana," katanya BPK kemudian menyebutkan upaya akhir-akhir ini untuk mengalihkan kepemilikan Bank Indover kepada Bank Ekspor Indonesia (BEI) juga dianggap sia-sia. "BEI itu bukanlah merupakan bank komersil. Tugas BEI hanya untuk memberikan pembiayaan jangka panjang bersubsidi kepada komoditi ekspor uang memerlukan produksi dalam waktu lama seperti kapal terbang, kapal laut, maupun pembangkit tenaga listrik," katanya. Selain terhadap BI, BPK juga menemukan beberapa masalah yang merupakan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau audit investigatif, yaitu bahwa dalam pelaksanaan pekerjaan pembangunan sarana dan prasarana serta pengadaan barang dan jasa untuk keperluan pemerintah pada sembilan kemeterian/lembaga (KL) terdapat ketidakhematan sebesar Rp15,52 miliar. Sedangkan pada 12 K/L lainnya, menurut BPK, terjadi kelebihan bayar atau pekerjaan kurang dan pekerjaan fiktif dengan nilai sebesar Rp32,74 miliar. Untuk pemeriksaan keuangan, jelasnya, BPK telah menyelesaikan audit pada laporan keuangan The Earthquake and Tsunami Emergency Support Project (ETESP) pada Project Management Office Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (PMO BRR) NAD-Nias per 31 Desember 2005 dengan pendapat "wajar tanpa pengecualian" Audit BUMN Dalam kesempatan itu, BPK juga mengemukakan hasil audit yang perlu mendapat perhatian DPR pada BUMN, yaitu kantor cabang BNI London yang selama lima tahun (2001-2005) justru membebani kantor pusatnya, dimana sumber dananya terutama berasal dari penempatan dana luar negeri kantor pusat yang dipinjamnkan kepada nasabah internasional yang menimbulkan kredit macet. Kasus BUMN lainnya, kata Anwar, adalah pemberian kredit di PT BTN (persero) dan PT BNI (persero) untuk tahun buku 2005 yang tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian. "Jumlah kredit bermasalah di PT BTN mencapai sebesar Rp607,83 miliar pada 2005 dan di PT BRI sebesar Rp3,51 triliun," katanya. Kemudian, jelasnya, pembayaran atas Kerja Sama Operasi (KSO) PT Telkom kepada PT MGTI lebih tinggi mengakibatkan potensi kerugian sebesar 124 juta dolar AS. Masalah lain, menurutnya, adalah terdapatnya perbedaan subsidi BBM 2005 yang diterima Pertamina dan Listrik 2005 yang diterima PT PLN sebesar Rp5,22 triliun dan Rp1,88 triliun. "Selain itu pada dua BUMN, yaitu PT Telkom dan PT LEN Industri ditemukan praktek-praktek pengelolaan keuangan negara yang berindikasi tindak pidana korupsi," katanya. Meski demikian, anggota BPK Udju Djuaeri yang melakukan audit tersebut, menolak menjelaskan lebih detil karena hal itu telah dierahkan kepada aparat penyidik.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007