Dili (ANTARA News) - Total suara yang telah selesai dihitung di tingkat distrik dalam pemilu presiden Timor Leste baru mencapai 20 persen dari total distrik yang ada, dan sampai pukul 16.30 waktu setempat, Jose Ramos Horta dan Dr Fernando Lasamma da Araujo menempati dua posisi teratas. Juru bicara Commisao Nacional de Eleicoes, Martinho da Silva Gusmao, di kantornya di Dili, Selasa, menyatakan, banyak area yang belum bisa diliput jangkauan telekomunikasi karena keterbatasan peralatan. Bahkan ada beberapa distrik yang belum bisa dihitung karena operator komputer salah password. Horta dan Lasamma, katanya, banyak unggul di berbagai distrik yang hasil perhitungannya masih sementara. Dalam pemilu kali ini, terdapat delapan kandidat presiden yang bertarung memperebutkan posisi kepala negara. Mereka adalah Horta, Lasamma, Dr Joao Viegas Carrascalao, Dra Lucia Maria BF Lobato, Dr Aveillo Mona da Silva, Fransisco Gutererres Lu-Olo, dan Dr Manuel Tilman. Secara umum, Gusmao mengungkapkan, di Distrik Aileu, Amaral meraih 11.743 suara, di susul Horta (1.586), dan Lasamma (1.869). Di Distrik Ainaro yang memiliki 34 TPS dan 14 di antaranya belum selesai dihitung, Lasamma meraih posisi pertama, disusul Horta, dan ketiga Amaral. Di Distrik Baucau dengan populasi penduduk kedua setelah Dili, hasil penghitungan justru belum bisa diketahui karena berita yang diterima, penghitungan itu baru bisa dilakukan pada pukul 24.00 waktu setempat hari ini. Di distrik itu, hambatan cuaca dan komunikasi menjadi masalah utama yang hingga kini belum terpecahkan. Di Distrik Telikai, Lu-Olo mampu merebut hati para pemilih dan kandidat-kandidat lain tidak mampu menyaingi tokoh politik berusia lanjut itu. Sementara di subdistrik Laga, Distrik Dili, Horta tidak ada saingannya satu pun dan melejit sendirian di atas para pesaingnya. "Distrik Dili dengan 55 TPS Horta meraih 13.893 suara, Lasamma 5.357, dan Amaral 5.000 suara. Disttrik ini memiliki populasi pemilih sekitar 20 persen dari seluruh populasi pemilih yang terdaftar," kata Gusmao. Di Distrik Ermera yang menyisakan delapan TPS untuk dihitung, Araujo dan Horta menjadi dua terbesar dengan selisih suara dangat tipis. Sementara di Distrik Liquisa, Horta mengungguli yang lain diikuti Lobato --satu-satunya perempuan kandidat-- dan Lasamma. "Penghitungan di Distrik Manufahi juga belum bisa dilakukan karena salah password komputer yang dilakukan operatornya. Mohon dimaklumi," kata da Silva Gusmao. Di Distrik Manufahi, angka penghitungan baru masuk pukul 16.00 waktu setempat dengan hasil Horta meraih 4.447 suara, Lu-Olo (1.806), 1.704 Lasamma, 1.612 untuk Xavier, 478 suara bagi Carrasacalao, 491 untuk da Silva, dan 278 bagi Tilman. Distrik Manatuto merupakan salah satu distrik yang tidak bisa dijangkau jaringan komunikasi tetap dan bergerak sehingga dari 25 TPS yang ada, masih tersisa lima TPS yang belum bisa diketahui hasil penghitungan suaranya. Hambatan Da Silva Gusmao mengakui terdapat sejumlah kekurangan dalam pemilu presiden perdana di negara yang baru mereka pada 20 Mei 2002. Kekurangan-kekurangan itu meliputi kelambanan pengiriman logistik pemilu, ketiadaan jaringan telekomunikasi, dan kesulitan teknis pelaksanaan pemilu. Distrik Lautem dan Distrik Maubesi, katanya, sebagai misal, yang sangat sulit untuk dijangkau dengan kendaraan roda empat dan dua. "Maka pengirimannya memakai kuda beban dan itupun ternyata tidak bisa tepat waktu," katanya. Akan tetapi, katanya, dia bersyukur tidak perlu dilakukan pemilu susulan seperti yang semula diperkirakan karena panitia pelaksana lokal dan masyarakat pemilih sangat sabar melaksanakan pemilu yang baru pertama kali dilakukan itu. Distrik-distrik dekat Ibukota Dili yang mudah dijangkau transportasi dan ada jaringan telekomunikasinya, katanya, memang lebih mudah dilakukan penghitungan akhir namun itu pun belum bisa selesai dilakukan. Padahal jumlah masyarakat pemilih per TPS banyak yang kurang dari 1.000 pemilih. Dibandingkan dengan yang selama ini terjadi di Indonesia, maka pelaksanaan penghitungan suara ini sangat jauh dari cepat. Teknologi telekomunikasi dan informatika yang dipergunakan masih belum memungkinkan pendata untuk segera mengintegrasikan data yang didapat dari level TPS dan perwakilan partai-partai politik yang ada. Dengan begitu, banyak pengamat internasional yang kesulitan membandingkan data yang diperoleh karena penyebaran pengamat-pengamat itu juga kurang menjangkau area terpencil yang seharusnya diamati secara lebih baik. Pihak PBB dan badan internasional serta negara pendonor sebetulnya sudah banyak berperan, namun terdapat sejumlah ketidaksamaan prosedur operasi dan tingkat keperluan yang terjadi di antara mereka. CNE dan STAE, menurut undang-undang pemilu Timor Timur yang disahkan Parlemen dan diundangkan Perdana Menteri Ramos Horta, memiliki kerangka waktu yang cukup ketat bagi pelaksanaan pemilu untuk negara baru seperti Timor Timur. Menurut peraturan itu, 48 jam setelah pemilu ditutup di semua TPS, hasil penghitungan harus sudah diterima di level distrik, dan dari semua distrik yang ada, baru Distrik Dili yang memiliki kemampuan pendekatan angka seperti yang diharapkan. Setelah diterima di level distrik, maka angka itu kemudian diolah di level nasional dan 72 jam kemudian angka-angka itu dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi (sejenis Mahkamah Agung) untuk diverifikasi sekaligus memberikan kesempatan pengaduan bagi kandidat atau unsur masyarakat yang merasa terdapat kejanggalan dalam proses pemilu itu. Oleh Pengadilan Tinggi (Supremo Tribunao, karena Timor Timur juga memakai bahasa Portugis sebagai bahasa resmi negaranya), proses itu masih diendapkan beberapa hari sebelum akhirnya dilimpahkan ke presiden sebagai kepala negara untuk diumumkan kepada publik secara resmi. Menurut rencana, pada Jumat mendatang (14/4), presiden baru Timor Timur menggantikan Kay Ralla Xanana Gusmao sudah bisa diketahui secara resmi dan beberapa hari kemudian dilakukan pelantikan pemimpin baru itu.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007