Yogyakarta (ANTARA News) - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dengan menggandeng lintas sektor kementerian dan lembaga merumuskan panduan penyusunan "detail engineering design" mitigasi bencana tsunami dan gempa bumi di lokasi Bandara Kulon Progo.

Perumusan itu dilakulan dalam bingkai acara "Workshop Dukungan Insfrastruktur yang Andal untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di DIY" di Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa, yang menghadirkan sejumlah narasumber dari LIPI, BPPT, BMKG, serta Angkasa Pura (AP) 1.

"Kami berharap melalui acara ini bisa memberikan panduan untuk bisa dituangkan dalam pembuatan DED mitigasi bencana di Bandara Kulon Progo," kata Asisten Deputi Infrastruktur Pelayaran, Perikanan, dan Pariwisata Kemenko Kemaritiman Rahman Hidayat usai acara itu.

Menurut Rahman, potensi bencana tsunami telah diperhitungkan pemerintah jauh sebelum peletakan batu pertama (ground breaking) Bandara Kulon Progo dilakukan pada Januari 2017.

Kendati demikian, menurut dia, tidak lantas menjadi penghambat rencana pembangunan bandara yang masuk proyek strategis nasional (PSN) itu.

"Kita sudah bangun ya harus kita jalankan. Kalau bicara ancaman bencana sebetulnya semua wilayah ada potensi, tinggal bagaimana mengantisipasi dengan menerapkan teknologi yang tepat," kata dia.

Peneliti Paleo Tsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto mengatakan potensi gempa dan bencana tsunami di subduksi selatan Jawa cukup tinggi dan mengancam daerah selatan Jawa termasuk lokasi Bandara Kulon Progo. Hanya, tidak bisa ditentukan periodisasi munculnya bencana itu.

"Seperti bencana tsunami di Aceh itu kan mengulang peristiwa yang terjadi sekitar 7.400 tahun yang lalu dan kita tidak akan tahu akan kembali terjadi," kata dia.

Oleh karena itu, menurut Eko, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah dengan upaya mitigasi atau membangun kesiapan masyarakatnya.

"Mengenai risiko itu tergantung bagaimana mengantisipasinya. Kalau naik motor pakai helm saat kecelakaan mungkin kita hanya luka-luka, tapi kalau tidak kita harus siap dengan risiko kematian," kata dia.

Ia juga mengakui bahwa Yogyakarta memiliki tanah yang relatif labil yang memiliki efek guncangan lebih besar jika terjadi gempa. Ia mencontohkan gempa bumi 5,8 SR di Bantul pada 2006 mampu mengakibatkan kerusakan ratusan ribu bangunan dengan 6.000 orang meninggal dunia, padahal di Bengkulu dengan guncangan 7,9 SR hanya mengakibatkan 21 orang meninggal.

Menurut dia, yang paling mendesak dilakukan saat ini adalah menganalisis risiko bencana secara mendetail. Dengan mengetahui berapa besar risiko bencananya akan memudahkan memetakan mitigasi yang diperlukan.

Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko mengatakan kawasan Bandara Kulon Progo rawan tsunami dengan tinggi lebih dari 10 meter apabila terjadi gempa mencapai 8,3 SR, berpusat di selatan Jawa. Tanpa upaya mitigasi, empasan gelombang bisa mencapai 2 kilometer dari garis pantai.

Ia telah menyiapkan enam skenario atau model mitigasi tsunami di kawasn itu dengan mengoptimalkan gumuk pasir dan sabuk hijau. Dari enam model itu, menurut dia, sekenario kelima yang dinilai paling efektif dan murah untuk mereduksi dampak bencana itu.

Sekenario tersebut terdiri atas tiga lapisan berupa gumuk pasir, sabuk hijau (mangrove atau cemara udang), dan parit yang posisinya 200 meter di antara bibir pantai dan Bandara Kulon Progo.

Struktur reduksi tsunami berupa gumuk pasir dan sabuk hijau tersebut akan membutuhkan gali timbun kurang lebih 1,7 juta meter kubik dan 50 hektare sabuk hijau. Berdasarkan hasil simulasi, melalui sekenario itu dampak tsunami hanya 1,1 persen terhadap Bandara Kulon Progo.

"Apalagi rencana tapak Bandara Kulon Progo sekarang ketinggian tanahnya kan sudah di atas 7-8 meter di atas permukaan laut," kata dia.

(T.L007/S024)

Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2017