Jakarta (ANTARA News) - Mantan Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA) Benjamin Mangkudilaga di Jakarta, Rabu, mengatakan, perlu dibentuk tim independen untuk menginvestigasi kekeliruan awal dalam sengketa tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat. Ditemui setelah diskusi "Sengketa Meruya Selatan, Antara Supremasi Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat; Menyimak Peran Media,", Benjamin mengatakan, tim itu hendaknya bersifat independen dan terdiri dari instansi-instansi yang terkait dengan sengketa tersebut. Benjamin menyebut instansi yang bisa bergabung dalam tim itu antara lain adalah Kejaksaan Agung, Kepolisian, Departemen Dalam Negeri, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Payung hukumnya adalah Keputusan Presiden," katanya. Menurut dia, keberadaan tim independen tersebut sangat penting untuk mengungkap ketidakberesan proses perkara lahan Meruya Selatan. Sengketa lahan di kawasan itu, katanya, sebenarnya terjadi jauh sebelum kasus tersebut memanas akhir-akhir ini. Sebelumnya telah terjadi tindak pidana pemalsuan dokumen tanah oleh tiga mandor tanah di kawasan itu. Pelaku pidana, menurut Banjamin, telah dijatuhi hukuman dan lahan di Meruya Selatan masih dalam pengawasan. Seiring perjalanan waktu, lahan tersebut mulai didiami oleh warga yang juga memiliki dokumen kepemilikan tanah. Menurut Banjamin, kepemilikan ganda lahan di Meruya Selatan itu adalah sesuatu yang janggal karena lahan tersebut masih dalam pengawasan sehingga seharusnya tidak bisa dialihkan. Untuk itu, Benjamin mengusulkan setidaknya ada dua tugas tim independen untuk memperjelas duduk perkara sengketa tanah di kawasan itu. Tim hendaknya bisa mengungkap kenapa lahan yang masih dalam proses perkara bisa dialihkan, dalam hal ini ditandai dengan kepemilikan dokumen tanah oleh warga. Selain itu, tim juga harus mencari tahu apakah pihak Pengadilan Negeri Jakarta Barat telah melakukan sita jaminan secara benar. Sita jaminan adalah upaya tindak lanjut terhadap putusan pidana yang dijatuhkan pada mandor yang memalsukan dokuman. Sengketa lahan di Meruya Selatan mencuat setelah Portanigra berencana melakukan eksekusi lahan yang diklaim milik perusahaan itu, meski sebagian telah menjadi pemukiman penduduk. Keputusan eksekusi lahan ditetapkan oleh PN Jakarta Barat pada 9 April 2007. Putusan yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Barat, Haryanto, SH itu berdasarkan putusan PN Jakarta Barat tertanggal 24 April 1997 No.364/PDT/G/1996/PN.JKT.BAR jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tertanggal 29 Oktober 1997 No. 598/PDT/1997/PT.DKI dan jo Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Juni 2001 No: 2863 K/Pdt/1099. Saat ini, kawasan yang menjadi sengketa itu dihuni sekitar 5.563 kepala keluarga (KK) atau 21.760 jiwa. Jumlah itu meliputi warga di perumahan karyawan Wali Kota Jakarta Barat, Kompleks perumahan DPR 3, perumahan Mawar, Meruya Residence, kompleks perumahan DPA, perkaplingan BRI, kompleks perkaplingan DKI, Green Villa, PT Intercon Taman Kebon Jeruk, dan perumahan Unilever.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007