Pelalawan, Riau (ANTARA News) - Kebakaran hutan yang terus menerus terjadi di Indonesia telah menjadikan negara ini sebagai penyumbang pencemaran udara terbesar di dunia, kata Prof DR Emil Salim di Pelelawan, Selasa. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Lingkungan Hidup itu mengatakan, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi telah menyebabkan rusaknya hutan dan tanah gambut. "Tanah gambut memiliki kadar karbon yang tinggi. Saat terbakar karbon menguap sehingga mencemari udara dan itu sebabnya Indonesia disebut sebagai negara penyumbang udara kotor ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China," ujar Emil Salim. Padahal, lanjut dia, sebelum era 1995 Indonesia sebagai penghasil karbon nomor 25 di dunia, namun setelah maraknya pembakaran hutan rawa gambut setelah era 1995 hingga sekarang, Indonesia berada dirangking ketiga penyumbang karbon terbesar di dunia. Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup ini mengatakan kebakaran hutan di lahan gambut menyebabkan Indonesia mengekspor asap ke kawasan Asia. "Di atas Asia kini terkenal dengan munculnya awan coklat Asia yang terjadi karena kebakaran hutan terus menerus. Awan itu berasal dari Indonesia dari kebakaran hutan, terutama di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung dan Kalimantan," ungkap Emil. Ia mengatakan, menghadapi dilema kebakaran hutan itu ia selalu turun ke lapangan untuk mengetahui apa sebetulnya yang terjadi. Ia menemukan di lokasi yang terbakar hutannya ditebang dan kayunya berserakan bahkan terdapat pula bibit-bibit kelapa sawit. Padahal, lajut dia, umumnya hutan yang terbakar itu merupakan eks areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut dia, dalam peraturan HPH perusahaan harus melakukan tebang pilih dan menanam kembali kayu yang telah ditebang. Bahkan, infrastruktur jalan koridor yang dibangun perusahaan untuk akses membawa kayu mereka saat HPH tidak lagi aktif atau masa izin habis harus ditutup. Namun, lanjut dia, teori peraturan HPH itu tidak berlaku. Tidak ada penanaman kembali, malah jalan akses HPH tetap dibiarkan terbuka meski perusahaan tidak aktif sehigga memudahkan terjadinya ilegal logging dan perambahan lahan. "Karena tidak ada pengawasan dan kepedulian di lokasi eks HPH, kayu-kayu ditebang habis, lalu dibakar sebab cara ini mudah dan murah kemudian ditanami sawit. Polanya dimana-mana di tanah air sama saja," ujar Emil Salim.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007