Sanur (ANTARA News) - Dewan Perlawanan Nasional Timor Leste (CNRT) dengan pasukan militernya yang disebut Falentil, telah berlaku kejam dengan berbagai aksi perusakan, penculikan dan pembunuhan pada seputar jajak pendapat di Timor Timur (Timtim) 1999. "Saya sendiri menyaksikan, dan sekaligus menjadi korban dari aksi kekejaman yang dilakukan CNRT, yang adalah organisasi massa yang pro-atas kemerdekaan Timtim," kata Domingos Alves, mantan kepala desa yang menjadi korban kekejaman CNRT, ketika ditemui di Sanur-Denpasar, Rabu. Mantan Kepala Desa Raemia, Kabupaten Kofalima itu berada di Denpasar dalam rangka menghadiri sidang Dengar Pendapat Terbuka (DPT) seputar masalah jajak pendapat di Timor Timur 1999 yang digelar Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste. Alves mengaku, saat didengar keterangannya di depan sidang DPT KKP itupun dirinya telah mengungkapkan tentang sejumlah aksi kekejaman yang telah dilakukan CNRT. Celakanya, kata dia, ketika itu ada seorang Wadanramil dan sejumlah kepala desa lain yang dengan "bermuka dua" juga menjadi anggota CNRT. "Itu sebabnya, saat saya melaporkan ada teman yang sedang diculik kawanan CNRT, pihak Koramil Maulima, tidak menanggapinya. Dengan alasan sedang dilakukannya operasi kantungisasi, petugas Koramil diam saja," ucapnya. Tidak lama setelah kasus penculikan yang diduga disertai tindak pembunuhan itu, giliran berikutnya menimpa Kades Alves. "Waktu itu, Januari 1999, saya diculik dari rumah kemudian dibawa ke sebuah tempat di pegunungan, Di lokasi tersebut, saya dianiaya dan dipaksa untuk bersumpah setia kepada CNRT," katanya. Takut kehilangan nyawa, Alves mengaku bersedia bersumpah dengan meminum air yang telah diberi jampi-jampi. Tidak hanya itu, Alves pun tidak menolak ketika diminta menyerahkan dana sebesar Rp1 juta untuk kepentingan operasi organisasi. Setelah semua itu disanggupi, Alves akhirnya dilepaskan oleh para penculik, yang beberapa di antaranya diketahui sebagai kenalannya sendiri. Pascajajak pendapat di mana CNRT yang pro-kemerdekaan Timtim menjadi pemenangnya, Alves yang juga guru sekolah dasar di desanya, memilih untuk menyelamatkan diri ke daerah NTT. "Saya trauma dengan orang-orang CNRT, yang pada tahun 1975 sempat menghabisi nyawa nenek dan saudara-saudara saya yang lain saat meletusnya perang saudara di Timtim," katanya, mengenang. Ditanya tentang kemungkinan balik lagi ke Timtim, Alves mengaku sangat rindu dengan tempat kelahirannya, namun hingga sekarang belum terpikit lagi untuk berani kembali ke tanah leluhurnya itu. "Biarlah saya bekerja dan menetap di NTT dulu," kata Alves yang mengaku kembali mengabdi sebagai guru SD di Belu, NTT. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007